English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Pages

let us build peace and friendship with insight

ASSALAMU"ALAIKUM WR.WB
SALAM SEJAHTERA
NEWBIE BLOGGER
Sebelum dan sesudah kunjumgan anda diblog ini,saya sebagai author mengucapkan banyak terima kasih.
Saya bangun free blog ini adalah sebagai catatan ,menambah wawasan dan belajar untuk diri saya.Dan semoga juga bermanfaat buat pengunjung dan pembaca semua.
Blog ini jauh dari sempurna.
Sungguh suatu kehormatan buat saya,bilamana pengunjung bersedia membagikan ilmu dan wawasan demi proses pembelajaran diri saya.
Sedikit banyak posting dan article saya ambil dari Simbah google,dan apabila membuat ketidaknyamanan pengunjung,blogger,dll atas copy paste yang terdapat di blog saya ini,mohon kesediaan memakluminya.

@ 2012 Dhanalova Corporation

" Sabar memiliki dua sisi, sisi yang satu adalah sabar, sisi yang lain adalah bersyukur kepada Allah "

@ 2012 Dhanalova Corporation

" Ketahuilah bahwa sabar, jika dipandang dalam permasalahan seseorang adalah ibarat kepala dari suatu tubuh. Jika kepalanya hilang maka keseluruhan tubuh itu akan membusuk. Sama halnya, jika kesabaran hilang, maka seluruh permasalahan akan rusak "

@ 2012 Dhanalova Corporation

" Pahlawan bukanlah orang yang berani menetakkan pedangnya ke pundak lawan, tetapi pahlawan sebenarnya ialah orang yang sanggup menguasai dirinya dikala ia marah "

@ 2012 Dhanalova Corporation

" Jika orang berpegang pada keyakinan, maka hilanglah kesangsian. Tetapi, jika orang sudah mulai berpegang pada kesangsian, maka hilanglah keyakinan "

Senin, 31 Oktober 2011

UPDATE TERBARU TRIK INTERNET GRATIS 30 OKTOBER 2011

Pagi guys..Posting pagi ini setting proxy gratis indosat terbaru pengguna operamini v4.2
INFO : zonatrik.mywapblog.com
Langsung pelototin oke :

# SETTING GPRS HP
-APN:indosatgprs
-HOMEPAGE:port.phn.me
-PROXY:082.145.209.049
-PORT:80

# SETTING OPERAMINI
-HTTP SERVER:http://z06-02.opera-mini.net:80/
-SOCKET SERVER:socket://z06-02.opera-mini.net:1080/
-REMOVE PORT:no
-PROXY TYPE:http
-PROXY SERVER:0.facebook.com

--- SELAMAT GRATIS RIA ---
-- GUNAKAN DENGAN BIJAK --

-DOWNLOAD & UPLOAD-

Minggu, 23 Oktober 2011

FREE INDOSAT PROVIDER BROWSING INTERNET

Hey guyz,how are you today,i'll posting here about INTERNET FREE USING MOBILE.This connection with GPRS on java platfom.OK

1.In indonesian country customer indosat provider,download OPERAMINI HANDLER or OPERAMINI EDITABLE SERVER
2. Before you instalation,setting your WAP or GPRS account in your mobile with this : APN (www.indosat-m3.net)
3. Next step.open your app OPERAMINI HANDLER.setting with this on proxy form : -remove port (check it) - proxy port (use http only)- proxy server (indosat.itfinity.com)

KATA BIJAK SHINSETSU

# Kesendirian,kesepian dan kehampaan.itu semua akan memperkuat kepribadian kita


# Dia yg berucap "terserah" - "lakukan sesuka hati kamu" seakan masa bodoh yg sebenarnya dia sangat mempedulikanmu

Jumat, 07 Oktober 2011

MENDAPAT BACKLINK GRATIS

Cara mendapat backlink otomatis.Ada yg FREE dan ada yg secara PAYMENT (berbayar).Untuk mendapatkan backlink secara otomatis disini saya akan berikan satu contoh.
#1.registrasi di www.socialmonkee.com
#2.isi username,email dan pasword
#3.klik submit form,isi type word
#4.jika sudah berhasil,utk melengkapi registrasi,buka email confirm,clik alamat link diemail.
#5.klik submit plugin,isi url anda,title.description,tag dll.
#6.jika anda member FREE,klik submit 25 site.
setiap hari anda cma submite sekali

Selasa, 04 Oktober 2011

PEREMPUAN ABU - ABU

Perempuan Abu-Abu


Cerpen Lan Fang
Sesosok perempuan muncul seperti bayangan, sehalus angin dan tanpa suara di sampingku. Perempuan itu mendadak muncul dan duduk di sampingku ketika aku sedang benar-benar tidak tahu apa lagi yang harus kutulis. Padahal aku sudah menghabiskan lima gelas kopi, sebungkus rokok kretek, dan tiga kaleng guiness beer. Tetapi aku tidak memusingkan perempuan itu. Aku tetap menghisap rokok kretekku dan menghembuskan asapnya kuat-kuat dengan harapan mendapat imajinasi dari gumpalan asap itu.

"Apakah aku pelacur?" Perempuan itu bicara kepadaku.
"Kamu pelacur bukan?" Aku balik bertanya tanpa menoleh kepadanya. Itu pertanyaan klise yang tidak perlu kujawab.

"Menurutmu definisi pelacur itu bagaimana?" Ia bertanya lagi.
"Tidur dengan lebih dari satu laki-laki," sahutku asal saja. Lagi-lagi tanpa menoleh.

"Tidur? Hanya tidur? Masa tidur saja tidak boleh?" Ia masih mendebat. "Dan katamu…lebih dari satu laki-laki. Hm…bagaimana dengan laki-laki yang tidur dengan lebih dari satu perempuan? Apakah dia juga bisa disebut pelacur laki-laki?" Ia nyerocos tanpa jeda.

Aku menoleh dengan perasaan mulai kesal dan terganggu. Saat ini aku sedang tidak ingin diajak berdebat. Aku justru perlu seseorang yang bisa memberikan imajinasi untuk meneruskan tulisanku yang terhenti di tengah jalan.

Tetapi, alamak…!
Aku terkejut ketika bersirobok pandang dengan bola mata perempuan itu. Matanya berwarna abu-abu! Tidak ada hitam. Dan tidak ada putih.

"Bagaimana?" Ia mengejarku dengan pertanyaannya.
"Apanya yang bagaimana?" Aku tergagap sembari masih berusaha menguasai diri.

"Apakah aku pelacur?" Ia mengulangi pertanyaannya.
Kali ini, di matanya yang abu-abu tampak tergenang butiran-butiran berlian yang ditahannya tidak runtuh bila ia mengerjapkan kelopak matanya.

Aku menarik napas panjang. Membenarkan posisi dudukku.
"Kamu sedang butuh bahan cerita bukan? Tulislah aku…" Ia bertanya dan menjawab sendiri seakan-akan tahu apa yang kurasakan.

"Ya," sahutku dengan nada berat dan sangsi.
Tetapi, bukan soal pelacur atau perempuan bermata abu-abu, tambahku dalam hati. Aku penulis roman cinta. Aku butuh cerita cinta.

"Sebenarnya kamu siapa?" tanyaku pada akhirnya.
"Apakah itu perlu buat kamu?" Ia balik bertanya.

Ah! Aku bukan pengacara yang siap diajak berdebat kata dan bersilat lidah setiap saat. Aku pengarang yang sedang mati kata.
"Baik. Panggil saja aku Maya." Ia berkata seakan-akan bisa membaca pikiranku.

"Maya? Nama kamu Maya?"
Perempuan itu tertawa. "Kamu pengarang kan? Apalah arti sebuah nama untuk pengarang? Shakespeare juga berkata begitu kan? Dan "Maya" artinya bisa tidak bisa ya, bisa mimpi bisa nyata, bisa…."

"Ya ya ya, Maya atau siapa pun kamu, sekarang berceritalah!" tukasku kesal. Aku memang tidak butuh namamu. Aku butuh ceritamu. Butuh imajinasimu.

Tetapi perempuan itu bukan membuka kata. Ia justru membuka blouse-nya, menampakkan payudaranya yang indah ditopang bra berwarna kulit. Aku terperangah. Tetapi ia tidak peduli. Ia berdiri. Melucuti pakaiannya satu per satu. Sampai ia telanjang bulat di depanku. Ia polos tanpa sehelai benang pun di tubuhnya. Seperti patung-patung Yunani atau patung-patung Bali yang kulihat di pameran. Aku meneguk air liur sampai jakunku turun naik.

"Apa yang kau lihat?" Suaranya bertanya setengah mendesah.
"Warna tubuhmu…" Kudengar suaraku seperti datang dari alam lain.

"Apa yang kamu lihat dari warna tubuhku?"
Kuhisap rokokku dalam-dalam lalu menghembuskannya kuat-kuat. Perempuan ini sekarang mulai mengasyikkan. Ia sudah tidak membosankan dan menganggu seperti tadi. Ia mulai memberikan sensasi. Apakah begitu perasaan setiap laki-laki bila berhadapan dengan perempuan telanjang di depannya?

"Abu-abu…," gumamku.
Perempuan itu tertawa. Suaranya merdu. "Kenapa tidak kau tulis?"

Astaga!
Ia kemudian mendekat. Begitu dekat. Sehingga aku bisa mencium aroma tubuhnya yang wangi dan merasakan sentuhan kulitnya yang lembab dan dingin. Ia mendekatkan dadanya ke wajahku. Napasku mulai terasa sesak. Aku menutup mataku karena tidak kuat menahan gejolak birahi.

"Buka matamu…Kenapa harus menutup mata bila kau ingin melihat sampai ke dalam?" Suaranya mesra merayu.
Aku masih menutup mata. Aku bingung, ragu, malu, tetapi juga ingin. Selama ini, aku memang suka menulis tentang perempuan. Tetapi belum pernah menulis tentang perempuan telanjang bermata dan bertubuh abu-abu.

Dengan satu gerakan lembut tetapi kuat, ia mengangkat wajahku. Kemudian, dengan sebuah usapan tanpa rasa sakit, kurasakan tangannya menjelajahi rongga mataku lalu mencungkil bola mataku. Ia membawa bola mataku ke dadanya. Meletakkan di atas payudaranya yang sebelah kiri.

"Kata dokter, di sebelah kiri adalah jantung hati. Coba kau lihat ada apa di jantung hatiku?" ia berbisik pelan di telingaku. Napasnya menghangati daun telingaku.

Bola mataku masuk ke dalam payudaranya, masuk ke dalam dadanya, masuk ke dalam tulangnya, sampai menemukan jantung hatinya.

Astaga!
"Apa yang kau lihat?" Ia masih berbisik seperti angin.

"Jantungmu, hatimu, paru-parumu, darahmu…."
"Ya, kenapa?"

"Berwarna abu-abu," sahutku gamang.
Ia tertawa lembut sambil mengambil kembali bola mataku dari atas dadanya dan mengembalikannya ke dalam rongga mataku. Ia lalu memberikan sebuah kecupan mesra di pelupuk mataku. Sekarang aku baru berani membuka mataku. Dan lagi-lagi aku bersirobok pandang dengan sepasang mata berwarna abu-abu yang menumpahkan berlian-berlian. Wajahnya begitu dekat dengan wajahku sehingga aku bisa menghirup napasnya yang segar. Dan ketika berlian-berlian jatuh bergulir menetes pula di pipiku lalu mengalir ke bawah, kutadah dengan tanganku.

"Air matamu juga abu-abu," kataku sambil melihat butiran-butiran berlian di tanganku.
Ia tersenyum antara tawa dan tangis.

"Kenapa semua berwarna abu-abu?" tanyaku pada akhirnya.
"Karena semua mulut mengatakan aku hitam. Walaupun aku tidak putih tetapi aku tidak sehitam yang mereka katakan. Bukankah abu-abu lebih baik daripada hitam? Bukankah abu-abu tidak semunafik warna putih? Apakah mulut yang mengatakan aku hitam semuanya berwarna putih?" Berlian-berlian abu-abu bercucuran di pipinya yang kelabu.

"Kenapa mulut-mulut mengatakan kamu hitam? Apakah kamu pelacur? Apakah kamu tidur dengan lebih dari satu laki-laki?" Kali ini aku mengejarnya.

Sekarang dia menarik badannya dari wajahku. Lalu duduk sambil bersidekap dada. Tetapi masih telanjang bulat di depanku. Sekarang aku rasa, lebih baik ia tidak usah mengenakan pakaiannya. Lebih baik ia telanjang bulat di depanku walaupun dengan seluruh warna abu-abu.

"Menurutmu, siapakah Yudistira?" Ia bertanya sambil mengambil rokok di tanganku. Lalu dengan sebuah gerakan yang sensual ia mengisap rokokku dan menghembuskannya membentuk sebuah bulatan-bulatan kecil. Ah, lagi-lagi berwarna abu-abu.

"Yudistira? Hm…ia pandawa tertua. Ia paling bijaksana," sahutku.
Kali ini aku merasa bertanya jawab dengan perempuan telanjang bulat walaupun dia berwarna abu-abu menjadi lebih mengasyikkan.

"Oh, begitu menurutmu?!" Ia membelalakkan matanya yang abu-abu dan dari suaranya kudengar nada sumbang.
"Ya. Cuma Yudistira yang mencapai nirwana," sahutku. "Cuma Yudistira dan seekor anjing," tambahku cepat.

"Kalau begitu, Yudistira, pandawa tertua yang bijaksana itu sama dengan anjing!" Ia memotong cepat dan ketus.
"Lho?!" Aku terperangah.

"Apa bukan anjing namanya, kalau Yudistira mempertaruhkan Drupadi, istrinya di atas meja dadu hanya untuk sebuah Astinapura?! Apa bukan anjing namanya, kalau Yudistira hanya duduk terpana ketika Drupadi, istrinya, ditelanjangi Duryudana?! Apa bukan anjing namanya, kalau harga diri Yudistira lebih mahal daripada harga Drupadi, belahan jiwanya?!" Ia kembali nyerocos dengan berapi-api.

Aku terdiam tidak mampu menjawab.
Perempuan itu tertawa sinis. Sekarang ia mengambil sekaleng guiness di dekat laptopku. Dengan sekali tegak, sekaleng guiness meluncur melewati bibirnya, lidahnya, tenggorokannya, perutnya, ususnya, kandung kemihnya, dan mungkin akan berakhir di toilet. Ia menjilati busa guiness yang tersisa di bibirnya yang indah.

Astaga! Lidahnya juga abu-abu!
"Lalu, menurutmu, siapakah Drupadi?" Ia bertanya dengan lidah abu-abunya.

"Ng…Drupadi, istri yang setia. Ia mengikuti Pandawa menjalani hukuman kalah judi dibuang ke dalam hutan berpuluh-puluh tahun lamanya tanpa berkeluh kesah. Ia bahkan bersumpah tidak akan menyanggul rambutnya sebelum keramas darah Duryudana…," jawabanku terdengar gamang. Entah benar atau tidak menurut perempuan itu.

Perempuan itu mendengus. "O…, begitu menurutmu. Drupadi begitu putih," ujarnya dengan nada sinis. "Lalu, kalau menurutmu, dia begitu setia dan putih, kenapa ia tidak bisa mencapai nirwana?" sambungnya lagi-lagi dengan membelalakkan matanya yang abu-abu.

Ah, orang bilang, mata adalah jendela jiwa. Tetapi mata perempuan ini semua abu-abu. Aku tidak bisa membaca apa yang ada di dalam jiwanya. Orang bilang, lidah adalah senjata kata. Tetapi lidah perempuan ini juga abu-abu. Aku tidak tahu ia bicara putih atau hitam. Orang bilang, jantung hati adalah naluri jiwa yang paling jujur. Tetapi jantung hati perempuan ini juga abu-abu. Aku tidak tahu apakah dia bohong atau jujur. Orang bilang, tubuh adalah bahasa. Tetapi tubuh perempuan ini semua abu-abu. Aku tidak tahu ia benar atau salah.

"Menurutmu, apakah Drupadi tidak bisa mencapai nirwana karena ia berselingkuh dan tidur dengan lima pandawa: Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa, sekaligus? Karena ia kotor? Karena ia hitam?" Ada luka menganga di mata abu-abunya.

"Atau, menurutmu, apakah Drupadi tidak bisa mencapai nirwana karena ternyata ia berselingkuh batin dengan lebih mencintai Arjuna daripada Yudistira, suaminya?" Ada darah menetes dari lidahnya yang abu-abu.

"Lalu, menurutmu, apakah Drupadi itu pelacur?" Ada luka dan darah membanjir dari jantung hatinya.
Aku terdiam seribu kata. Tidak mampu menjawab. Karena setelah sekian lama melihat perempuan itu dalam bungkusan warna abu-abu, mendadak saja begitu banyak warna merah mengucur dari matanya, dari lidahnya, mulutnya, tubuhnya, jantung hatinya, air matanya. Darah!

"Apakah aku pelacur?" Untuk kesekian kalinya ia mengulangi kata-katanya.
Aku merasakan dadaku sesak.

"Apakah kamu Drupadi?" tanyaku sengau.
"Apa perlu untukmu siapa aku? Apakah aku Drupadi, apakah aku Maya, apakah aku pelacur? Kau hanya perlu cerita, tulis apa yang kau rasa, mungkin apa yang tertulis lebih jujur dari kata yang terucap."

Masih dengan tubuh telanjangnya, ia mendekat padaku, menciumiku dengan lidahnya yang berdarah, melekatkan wajahku pada air mata darah, membiarkan mataku mengembara ke dalam jantung hatinya yang berdarah, merapatkan tubuhku dengan tubuhnya yang berdarah.

Malam merapat pagi, ketika aku bersetubuh dengan perempuan abu-abu itu di atas darah….
(Surabaya : 21.03.2004 : 22.52 PM)
(Biarkan Drupadi tetap abu-abu, please…)

PENJAGA MALAM

Penjaga Malam

Cerpen Eka Kurniawan
HUJAN badai berhenti menjelang tengah malam. Kami melihat dua ekor ajak tersesat, mendatangi cahaya lentera di tepi gardu, namun segera bergegas menerobos gerumbul ilalang begitu mereka melihat kami. Binatang-binatang liar turun gunung, pikirku, demikian pula hantu-hantu.. Sejenak selepas aku memikirkan itu, satu angin kencang kembali berpusing di atas kami, membuat lentera terayun-ayun berputar dan sekonyong cahayanya padam. Kami mendengar sesuatu terbang di kegelapan, barangkali sepokok batang pisang tercerabut dan dilambungkan jauh oleh angin celaka.
Dalam kegelapan tak satu pun di antara kami bergerak, hanya berharap gardu tak ikut diseret sisa badai. Sebagaimana semula kami masih duduk di empat sudut gardu, menghadapi kartu-kartu yang bergeletakkan di lantai papan, yang tak kami sentuh sejak kebosanan tiba-tiba menghajar kami. Suara gemuruh sisa badai itu terdengar dari puncak bukit, dan serasa dijatuhkan, terdengar turun bergulung-gulung sebelum terempas ke perkampungan. Balai desa yang reyot itu pasti dibikinnya ambruk, pikirku lagi. Saat itulah sesuatu lari di depan kami, barangkali sepasang ajak itu, lalu kami mendengar mereka, atau kawanan mereka yang lain, melolong di kaki bukit. Kami juga mendengar suara berderak, serasa batang-batang pohon menggeliat dipelintir, seperti rakit merekah. Udara dingin juga menggigilkan kami.
Apakah bajang itu juga keluar di malam celaka seperti ini? Istriku yang tengah bunting lima bulan mengaku melihat bajang itu pada waktu subuh, ia menjerit dan aku terbangun. Sejak itu ia tak pernah mau keluar rumah di malam hari seorang diri. Ia terbiasa bangun menjelang subuh untuk mengambil kayu bakar di bekas lumbung, lalu mengambil air di pancuran. Sepanjang subuh istriku sibuk sendiri di belakang rumah, sementara air dijerang di atas tungku, ia akan mencuci piring dan pakaian di pancuran. Sejak ia melihat bajang itu, ia tak melakukannya lagi kecuali aku menemaninya. Dan subuh ini aku tak akan bersamanya, pikirku serupa satu ramalam yang aneh, sebab bajang itu mungkin telah masuk ke rumah.
Kesenyapan sekonyong datang begitu angin berhenti. Gelap pekat membuatku serasa dikubur hidup-hidup, dan aku bertanya-tanya ke mana suara binatang-binatang malam. Aku berharap ajak itu muncul lagi, paling tidak untuk meyakinkanku sesuatu masih hidup di sekitar gardu. Tapi tak ada ajak setelah menit-menit berlalu. Bukan kebiasaan mereka tersesat hingga ke kampung. Babi dan monyet sering melakukaonya, tapi tidak ajak. Seekor buwung hanuu menggeram, demikian suaranya kudengar, namun segera lenyap. Dunia kembali sunyi, lelap seperti mayat. Kugerakkan jemariku, memastikan diriku masih hidup.
Lalu aku merasa mendengar kesunyian, betapapun anehnya ungkapan itu bagiku. Tapi benar, aku mendengarnya, suatu bunyi yang kosong, yang berbeda dengan apa pun. Untuk kesekian kalinya aku berpikir mengenai kematian. Hantu-hantu keluar dari liang kubur di malam-malam seperti ini.
Kesunyian itu dikejutkan oleh bunyi pemantik, dan aku melihat seseorang membakar rokok lintingan daun aren di tentangku. Itu Karmin. Kulihat wajahnya kemerahan di balik lidah api, matanya redup, lalu lenyap selepas ia memadamkan apinya. Yang tersisa hanya ujung rokok lintingan yang oranye, mengapung di lautan hitam pekat. Bara api itu bergerak, turun dari lantai gardu dan wajah Karmin kembali samar terlihat ketika ia mengisapnya. Beberapa waktu kemudian lentera kembali menyala dan angin berembus perlahan. Di depan kami deretan pohon pisang dan ketela menari, bayang-bayangnya terbang serupa jemari setan gunung. Karmin yang baru menyalakan lentera masih berdiri, mengangkat sarung dan menyelimuti dirinya. Satu tangan menjepit ujung sarung sambil mengapit rokok, tangan lain menggenggam lampu senter. Setelah termangu sejenak, ia membuang puntung rokoknya, kemudian meraih kentongan kecil. Aku pergi berkeliling, katanya.
Ia lenyap ke arah barat. Hanya cahaya lampunya sekali-kali berkelip, dan bunyi kentongan sekali-kali dipukul, memberi kabar di mana dirinya. Seseorang harus berkeliling memastikan hantu-hantu tak menjarah kampung. Karmin mestinya tengah berjalan sepanjang tegalan yang menjulur mengikuti selokan kecil. Selokan itu mengelilingi kampung kami dan bermuara di sebuah sungai. Setelah hujan badai, selokan bakal meluap menyeret bekicot, lumut dan kodoknya. Kami masih mendengar suara kentongannya dipukul, di suatu jarak yang tiba-tiba terasa asing. Serasa ia tak ada di kampung ini lagi. Suara kentongan itu demikian sayup-sayup menjauh. Ia mestinya berputar, muncul lagi dari timur setelah setengah jam.
Aku melihat kegelisahan di wajah kedua kawanku. Seorang di antaranya turun dan memeriksa ceret di atas tungku yang padam, di kolong gardu. Badai tak menumpahkannya. Ada air kopi di dalamnya, dan lelaki itu, Miso, menuangkannya ke cangkir kaleng. Ia menawari kami dengan sikap gugup yang aneh, dan dengan enggam kami menggeleng. Seharusnya aku juga meminum kopi, pikirku, tapi aku tak juga beranjak. Miso duduk di dekat lentera, memandang ke arah Karmin pergi, menggenggam cangkir kalengnya, dan sekali-kali meminum kopinya. Aku ingin mengajaknya bicara, tapi satu perasaan tak patut merongrongku, serasa aku tengah menghadapi upacara berkabung dan orang dilarang bicara.
Suara kentongan Karmin masih terdengar, lirih dan semakin jauh. Apa yang membuat kami gelisah, suara itu terasa terbang semakin tinggi. Suara itu datang jauh dari atas, lalu lenyap. Aku mencoba berpikir itu bukan suara kentongan Karmin. Barangkali suara sayap alap-alap berkepak sekali-kali. Tapi jika itu benar, seharusnya kami mendengar Karmin memukul kentongan. Seharusnya ia telah sampai di bulak, atau tengah melintasi jembatan kecil di tepi rumpun nipah, lalu segera muncul lagi dan seseorang yang lain memperoleh giliran kedua untuk berputar. Dalam keheningan aku mulai menyadari degub di dadaku, diselingi suara Miso menyeruput kopi.
Lelaki itu tampak tak menikmati kopinya. Kulihat tangannya bergetar meletakkan cangkir kaleng di palang kayu, lalu berdiri dan kencing di samping pohon pisang. Angin berembus kembali, perlahan dan basah. Lentera terayun dan bayang-bayang pohon pisang serasa hendak menerkam Miso. Lelaki itu bergegas kembali sambil mengikat tali kolornya, duduk di tepi gardu, masih memandang ke arah Karmin pergi. Setengah jam telah berlalu, Karmin tak akan kembali, pikirku. Miso menoleh dan memandang ke arah timur. Tak ada suara lentera, pun suara kentongan. Dan gerimis kecil mulai turun.
Saat itu aku kembali teringat kepada istriku. Di dalam perutnya ada anak pertama kami dan aku cemas bajang itu akan merampoknya di malam seperti ini. Seseorang harus berkeliling kampung memastikan rumah-rumah tak diserbu setan, aku bergumam. Miso memandangku, lalu kembali mengedarkan pandang ke timur. Kami sama menanti Karmin dan berharap ia datang membawa kabar baik, bahwa kampung tak tersentuh celaka apa pun. Tapi Karmin tak juga muncul sementara istriku di rumah tak terjaga siapa pun. Ia harus mengunci pintu rapat-rapat.
Kata istriku, bajang itu serupa musang, tapi ia mengeong serupa kucing. Hantu macam begitu sering mendatangi perempuan-perempuan bunting, merampok anak di dalam perutnya, atau membuatnya gila.. Aku telah berkeliling kampung mencari secarik sutera hitam dan kuikatkan di pergelangan tangan istriku sebagai penangkal hantu bajang, tapi aku tetap mencemaskannya. Kulihat matanya yang tak rela kala aku harus pergi, sebagaimana biasa aku memperoleh giliran berjaga di malam Selasa. Ketika malam mulai mendingin dengan kabut tebal menggelayut di pucuk pohon kelapa, seharusnya aku memang mendekam di tempat tidur bersamanya. Sejak perutnya membesar, istriku tidur telentang dan aku tak bisa mendekapnya erat. Tapi ia akan membiarkanku menggenggam tangannya dan kami tidur lelap.
Kunci semua pintu, kataku kepadanya. Telah kuperiksa pula jendela-jendela. Tapi jika kukunci rapat, bagaimana kau akan masuk? Aku tak menjawab, seolah tahu aku tak bakal kembali. Hanya kucium bibirnya, kubelai perutnya, menyambar lampu senter dan pergi menerobos gerimis yang mulai turun. Gerimis itu berubah menjadi badai dan lentera-lentera di nok setiap rumah mulai mati. Ajak-ajak keluar dan kami menggigil. Kini gerimis itu datang lagi, aku berharap ini hanya sisa dan tak akan berubah menjadi badai celaka yang lainnya.
Miso mengambil kentongan kecil dari kolong dan memukulnya tiga kali. Ia berharap Karmin akan membalasnya, tapi tak ada balasan. Kulihat si bocah kecil yang masih termangu di sudutnya menjadi pasi dan bibirnya menggigil. Ini jaga malam pertamanya, menggantikan ayahnya yang terbaring sejak dipatuk ular tempo hari. Sejak tadi ia tak bicara. Miso juga memandangnya, lalu kembali memukul kentongan, tiga kali, dan masih tak beroleh balasan.
Baiklah, aku akan menyusulnya, kata Miso. Ia mengambil capingnya untuk melindungi diri dari gerimis. Aku ingin mencegahnya, sebab pikirku, jika ia pergi barangkali juga bakal lenyap tak kembali. Tapi mulutku terkatup rapat, malahan menggigil pula, dan sekonyong rasa kantuk menyergap mataku. Pergilah dan aku akan selalu mengenangmu.. Miso menyalakan senternya, mulai berjalan menerobos tirai gerimis menuju timur, masih berharap berpapasan dengan Karmin. Sekali-kali ia memukul kentongannya, dan di suatu jarak cahaya lampunya menjadi lenyap, dan bunyi kentongannya tak lagi terdengar.
Bocah itu, Hamid, memandangku dengan tatapan bertanya. Aku begitu lelah dan mengantuk, tak memedulikannya, dan bersandar ke dinding gardu mencoba melepas penat. Namun tiba-tiba aku bangun dan turun, tanpa alas kakiku menjejak tanah. Kemana? tanya si bocah Hamid dengan suara nyaris tak berbunyi. Aku hanya ingin kencing.. Aku berlari kecil dan berlindung di balik daun pisang dari curah gerimis, kencing di sana. Angin lembut datang lagi, daun-daun pisang yang kering menjuntai menari. Lampu lentera mati lagi dan kami terkurung kembali dalam kegelapan. Tergopoh aku mengikat tali kolor, aku tak memegang mampu, maka aku berjalan meraba-raba. Si bocah menyalakan lampunya, menerangi jalanku.
Dibantu cahaya lampu dari si bocah Hamid, aku memeriksa lentera. Angin kecil tadi pasti telah melumat apinya, pikirku. Ternyata aku keliru. Cahaya lentera mati dengan sendirinya, sebab lambung minyaknya telah kerontang. Tak ada yang bisa dilakukan. Aku duduk di tempat tadi Miso duduk, dan tak lama kemudian kudengar si bocah mengisut lalu duduk di sampingku. Cahaya lampunya menerangi jalan ke timur, lengang dan becek, sebelum ia mematikan lampunya.
Tenggelam dalam kegelapan, yang terdengar kemudian hanya dengus napas kami. Angin telah berhenti pula dan semua yang ada di sekeliling kami membatu. Kucoba menajamkan pandanganku ke arah kampung. Aku berharap ada lampu mulai menyala, tapi tak ada. Mereka semua tidur dan tak akan pernah bangun lagi, pikirku. Aku tambah menggigil dan kudengar si bocah Hamid bergemeletuk pula.
Telah lewat satu jam dari tengah malam. Bahkan ayam-ayam tak berkokok, dan air di selokan tak terdengar mengalir. Aku hanya mendengar suara kesunyian, seperti tadi, dan dengus napas.
Kemudian kudengar sebuah suara lain. Kuraih lampuku cepat dan kusorotkan ke gerumbul pohon pisang. Seekor ajak. Ia memandang kami, lalu melongos dan pergi dengan ekor bergoyang ke arah bukit. Kusorotkan lampu ke arah kampung, cahayanya menimpa lorong-lorong yang sempit, dinding-dinding yang kelabu. Tak satu pun bergerak. Air menggenang di sana-sini, sebuah kisa ayam mengapung di sebuah genangan, dan sehelai kain kuyup menggantung di tiang jemuran. Semuanya serupa gambar yang belum jadi dan sekonyong aku merasa asing dengan pemandangan tersebut. Di mana rumahku, ah, melewati lorong itu dan belok kiri, di sana istriku sedang berbaring di balik selimut. Barangkali bajang itu telah menggerogoti dinding dan masuk.. Kumatikan lampu, baterainya telah lemah, terlihat dari warna cahayanya yang mulai pucat kemerahan.
Hamid turun dan mengambil kentongan lain, memukulnya, tidak tiga kali namun berkali-kali. Lalu ia diam mendengarkan, dan kami tak mendengar balasan apa pun.
Aku akan mencari Karmin dan Miso, katanya. Tidak, aku saja, kataku. Aku tak ingin di gardu seorang diri, katanya lagi. Mari pergi berdua, aku mengajak. Tidak, seseorang harus menunggu di gardu. Baiklah, aku menunggu di sini. Kembalilah dan beri aku kabar dengan kentonganmu. Pukul terus sehingga aku tahu kau di mana. Si bocah Hamid menyalakan lampunya dan kulihat ia mengangguk. Semula ia ragu apakah hendak ke barat atau ke timur, namun kemudian ia memilih arah ke mana Karmin menghilang.
Kulihat lampunya menerangi setapak, kadang lenyap terhadang bayangan pohon mahoni, dan kudengar kentongannya dipukul berirama tak putus-putus. Namun di suatu jarak cahaya itu pun lenyap dan demikian pula bunyi kentongannya. Ia pun menghilang dan tak akan kembali, lenyap ditelan gelap. Kurasakan wajahku berubah pasi dan bintik-bintik keringat muncul di sekujur tubuh, di tengah selimut hawa dingin ini. Kini aku sendiri, dan giliranku bakal tiba.. Aku masih berharap si bocah Hamid memukul kentongan, namun bersama berlalunya waktu harapanku nyata sia-sia. Aku memukul kentongan yang tergantung di ujung gardu keras-keras, berulang-ulang menciptakan keributan tanpa ampun. Itu cukup membangunkan seluruh isi desa, beserta hantu-hantu kuburannya.. Tapi tak ada cahaya menyala dan tak ada yang terbangun. Aku tak melihat kehidupan. Dengan tangan bergetar terus kupukul kentongan, dan itu hanya memberi kegaduhan yang tak berarti.
Aku berlari menyusul si bocah Hamid dengan lampu yang redup. Lampu itu kehabisan baterai di tepi sebuah empang, lalu cahayanya lenyap. Aku mencoba memukul-mukulnya. Sejenak lampu menyala dan kulihat sepasang mata berkilap. Seekor kucing. Bukan, itu musang. Ah, itu bajang.. Lampuku mati dan tak lagi mau hidup. Dikurung kegelapan yang pekat, aku mulai berserah. Aku tak lagi melangkah, pun tak merasa menjejak tanah. Aku tak bakal balik malam ini, kataku bergumam. Dengan mata berurai air mata, aku terkenang kepada istriku.
2004
* Eka Kurniawan lahir di Tasikmalaya, 1975. Dua novelnya Cantik Itu Luka dan Lelaki Harimau diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, Mei 2004

SEBUAH CERITA BELUM BERJUDUL

(Sebuah Cerita Belum Berjudul)
Dikemas 16/06/2004 oleh Editor 
Segera setelah bercinta dengan suamiku aku selalu mandi. Membasahi tubuhku dari rambut sampai ujung kuku kakiku...



Segera setelah bercinta dengan suamiku aku selalu mandi. Membasahi tubuhku dari rambut sampai ujung kuku kakiku. Menggosok tubuhku dari rambut sampai ujung kuku kakiku. Menyabuni tubuhku dari rambut sampai ujung kuku kakiku. Membilas tubuhku dari rambut sampai ujung kuku kakiku. Berlama-lama di bawah kucuran shower, hingga aku yakin bahwa tubuhku, dari rambut hingga ujung kuku kakiku, telah benar-benar bersih. Saat air yang mengalir menuju lubang pembuangan air di sudut kamar mandi sudah tidak lagi berwarna hitam oleh karena kotoran yang tadinya lekat pada tubuhku, dari rambut hingga ujung kuku kakiku, melainkan telah berwarna bening, bersih dari kekotoranku.

Seumur hidupku aku hanya bercinta dengan suamiku saja, dan seumur hidupku aku selalu mandi segera setelah bercinta dengannya.

Aku hanya tidak tahan dengan kotoran yang melekat di tubuhku. Membuat nafasku sesak mencium baunya yang busuk menyengat, membuat perutku mual melihat noda-noda hitam menjijikkan yang menempel di tubuh, dari rambut sampai ujung kuku kakiku.

Segera setelah mandiku selesai, kurendam sprei, sarung bantal, dan baju yang tadi kupakai. Aku juga tidak tahan dengan kotoran yang melekat di sprei, sarung bantal, dan bajuku. Seperti halnya aku tidak tahan kotoran yang sama yang melekat di tubuhku, dari rambut sampai ujung kuku kakiku.

Segera setelah bercinta dengan suamiku, aku mandi, lalu merendam sprei, sarung bantal, dan baju yang tadi kupakai sebelum bercinta dengannya. Tengah malam sekalipun.

Suamiku berkali-kali bilang bahwa aku butuh menemui psikiater. Aku menolaknya, berkali-kali juga, bahwa aku bukan orang gila. Aku adalah orang yang tidak tahan dengan kotoran yang melekat di tubuhku, dari rambut sampai ujung kuku kakiku, sprei, sarung bantal, dan bajuku. Itu tidak berarti gila, bukan?

***

Aku sedang membilas tubuhku. Sebentar lagi aku selesai.

Sejak dua bulan terakhir lalu suamiku baru menyentuhku lagi kali ini. Itu pun karena aku yang menggodanya. Dia selalu saja merasa bersalah setiap kali kami selesai bercinta, melihatku segera berlari menuju ke kamar mandi, mendekam beberapa lama di sana. Apalagi bila dia tahu aku belum bisa mencapai puncakku. Kadang dia tidak bisa dibohongi. Saat aku mengatakan sudah, padahal aku belum mendapatinya. Lebih seringnya dia terkena tipuanku. Yang terakhir, sebelum hari ini, dua bulan yang lalu.

Dua bulan yang lalu terakhir kali, sebelum hari ini, suamiku menyentuhku, mendapati kebutuhannya, dan sangat merasa bersalah karenanya. Dua bulan yang lalu terakhir kali, sebelum hari ini, aku sengaja ingin suamiku menyentuhku, sengaja memberikan kebutuhannya, membohonginya, dan kemudian sesak dan mual oleh kotoran yang melekat di tubuhku, rambutku sampai ujung kuku kakiku, spreiku, sarung bantalku, dan bajuku. Dua bulan yang lalu terakhir kali, sebelum hari ini, selesai aku mandi kulihat suamiku tercenung di pinggir tempat tidur, meratapi apa yang telah terjadi.

Setiap kali aku seperti mengalami deja vu, tapi sebenarnyalah sebuah kenyataan yang memang selalu saja berulang lagi.

Aku hampir selesai. Saat ini pun aku seperti mengalami deja vu. Saat ini pun sebenarnyalah sebuah kenyataan yang memang selalu saja berulang lagi. Aku sudah hampir selesai. Sebentar lagi aku selesai. Lalu mendapati suamiku.

Dia suamiku, aku menyayanginya dengan kesungguhan hatiku. Tentu saja, dia suamiku. Aku mengerti kebutuhannya. Tentu saja dia suamiku, aku sangat memahaminya. Aku akan lebih merasa sakit bila dia sampai melakukannya dengan orang lain. Mencampakkan komitmen kami berdua, bahwa seks adalah dan hanyalah karena cinta. Tapi tidak akan mungkin, karena aku yakin tidak pernah terlintas sedikit pun dalam pikirnya. Untuk memikirkannya pun, sungguh, aku berani bersumpah, tidak akan mungkin.

Sebentar lagi aku selesai. Aku sudah membilas tubuhku. Dari rambut sampai ujung kuku kakiku.

***

"Berkali-kali ibu kan sudah bilang, jaga tubuhmu, tangan laki-laki itu kotor! Kotor itu ya kotor, sekali kotor tetap kotor! Kotor itu menjijikkan! Berulang kali ibu bilang, jauhi kekotoran agar kamu tidak ikut menjadi kotor, agar kamu tetap suci, bersih! Dasar gadis bodoh, sia-sia ibu mendidikmu selama ini! Sekarang lihat dirimu, lihat! Tubuhmu sudah kotor, tubuhmu sudah ternoda, bau! Demi Tuhan, kamu sudah menjadi sundal! Segera kamu minta ampun pada Tuhan, siapa tahu Tuhan masih mau mengampuni kebodohanmu ini! Cepat, segera mandi, yang bersih! Gosok seluruh tubuhmu, biar luruh semua kotoranmu!"

Ibu memergoki Ridwan, pacarku kala itu, Ketua OSIS di SMP-ku, mencium pipiku sebelum dia pulang setelah mengantarku sampai di pintu pagar.

***

Aku segera lari ke kamar mandi. Aku tahu Susi mengejarku. Tidak kupedulikan teriakannya. Tidak kupedulikan juga tanya keheranan teman-temanku yang lain. Aku sudah tidak tahan lagi, perutku mual, nafasku sesak. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku sangat ingin mandi.

"Kenapa, Ya?" tanya Susi keheranan. Dia melihatku terengah-engah memegangi pinggiran bak mandi.

"Masuk angin, Sus...," jawabku.

"O... Mau selesein nontonnya dulu, apa kuantar pulang saja?"

"Aku pulang saja ya, Sus?"

"Oke. Ayuk. Minum obat, lalu istirahat. Paling besok sembuh."

Setelah ujian Ebtanas SMA, kami sekelas berkumpul di rumah Susi mengadakan perpisahan. Aku menonton laki-laki bersetubuh dengan perempuan untuk yang pertama kalinya.

***

Aku mendengar ibu melenguh lirih dari depan pintu kamarnya malam itu. Aku bisa pastikan ibu hanya sendirian. Ibu tidak akan pernah lagi membiarkan laki-laki menyentuh tubuhnya, setelah bapakku melakukannya padanya dengan paksa. Ibu melenguh sendirian.

...

Aku mendapati orgasme kali pertamaku malam itu.

***

Aku sudah selesai menggosok ujung kuku kakiku. Aku telah menemukan tubuhku kembali bersih. Air yang mengalir ke lubang pembuangan di sudut kamar mandi sudah berwarna bening. Aku sudah bersih. Aku sudah hampir selesai. Suamiku pasti sudah terlalu lama menungguku keluar dari kamar mandi dengan cemas. Aku sudah hampir selesai. Aku sudah bersih. Aku akan bilang tidak apa-apa, sudah dua bulan dia tidak mendapatkan kebutuhannya. Aku sudah hampir selesai. Aku sudah bersih.

Sebentar lagi aku selesai.

...

Aku kembali mendengar ibu melenguh lirih.

...

Aku orgasme.

...

Aku sudah selesai.

Sukoharjo, 26 April 2004

SAYAP ITU AKAN SEMBUH

Sayap Itu Akan Sembuh


Oleh Dessy Natalia
Penulis adalah siswa SMUK Stella Maris Surabaya

"Surat ini adalah surat pertamaku. Surat tanpa tujuan yang pertama. Begitu banyak pikiran yang mengganjal yang ingin kuceritakan. Tapi aku tak punya tempat untuk bercerita. Oleh karena itu kutulis surat ini.

Saat kutulis surat ini, yang kuperlukan hanyalah dukungan seseorang, bukan pujian atau semacamnya. Aku tidak ingin aku menjadi sahabatku. Yang kuinginkan hanyalah kau mau mengenal diriku. Aku memerlukanmu untuk mendengar ceritaku, hanya mendengar, tak perlu yang lain. Begitu banyak bagian dari hidupku yang ingin kuceritakan. Tapi tak satu pun mau mendengarnya hingga semuanya seperti angin lalu.

Saat kukatakan bahwa aku sedih, bukan hiburan yang kau ulurkan melainkan gema tawa dalam hatimu.

Aku…"
Pena yang mulanya menari-nari di atas lembaran putih kusam itu kini tergeletak seperti kehilangan nyawa. Ia tak mau melanjutkan tarian sendu penanya. Bukan, bukannya tidak mau tapi…
Tapi karena ia tak sanggup untuk menulisnya. Sayapnya lunglai, lemah menggantung tak berdaya. Perlahan, dengan penuh makna, penuh sendu, cucuran darah membasahi helai demi helai bulu sayapnya.
Semakin menggoreskan tinta untuk sebuah makna, semakin deras cairan itu mengucur. Ia tak mau membiarkan cairan itu mengucur sia-sia. Sulit untuk menghentikan aliran itu, tapi ia yakin ia mampu melakukannya.
Selang beberapa hari, sayapnya tak kunjung sembuh. Yang kulihat hanyalah balutan perban sementara. Entah siapa yang membalutnya. Tapi yang jelas balutan itu takkan bertahan lama. Sebentar lagi akan longgar dan cairan itu akan kembali mengalir.
Malam itu bulan tampak tersenyum getir padanya. Senyuman hambar tanpa alasan. Ia duduk di beranda kamarnya, kembali membuat penanya menari.
"Untuk kali kedua kutulis surat tanpa tujuan ini. Ternyata tidak setiap hari yang kuharapkan menjadi baik. Justru sebaliknya. Saat sebuah keputusan sudah terpikir dan terucap, ternyata ada sesuatu yang hilang dari bagian hidupku. Karena keputusan ini adalah kata berpisah.

Ada orang yang mengatakan bahwa yang menciptakan suatu keadaan adalah kita, bukan orang lain. Kelihatannya diriku tak sanggup menciptakan keadaan yang baik karena di sekelilingku banyak kutu loncat yang setiap saat berlomba-lomba untuk melakukan loncatan lebih tinggi. Aku hanyalah kutu biasa yang tidak mampu menyaingi loncatan mereka. Aku hanya dapat menunggu saat mereka jatuh terperosok dan mengobati lukanya."

Gerakan penanya terdiam. Ia merasakan aliran hangat menembus kulitnya. Balutan itu ternyata sudah lepas. Ia tidak menyadari karena ia hanyut dalam tarian sendu penanya. Sekali lagi ia berhenti.

Malam semakin larut. Bulan masih tersenyum getir. Ia merasa terpojok dalam malam, kolong tempat tidur pun tak mampu menjadi tempat persembunyiannya.

Ia ingin memalingkan muka, tapi tak akan ada gunanya. Malam tak akan bertepuk tangan karenanya. Ia lelah, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Ia putus asa, ia tinggalkan semuanya dalam kebisuan malam.

Raja dunia kembali dari tidurnya. Kuasanya menyelubungi seluruh peslosok bumi. Selembar kertas melayang dalam angannya. Iapun meraih dalam kekosongan, membaca dalam mimpi.

"Setiap manusia mempunyai sebuah sayap cinta. Ia diharuskan mencari yang sebuah lagi agar bisa digunakan untuk merengkuh cinta yang sebenarnya. Tapi orang-orang tertentu memiliki sepasang sayap. Karena mereka adalah orang-orang terpilih untuk menderita sebelum mereka bebas mengepakkan sayapnya. Dan kau salah satu dari mereka…"

Embun pagi berkejaran menuruni bukit hijau. Bayangan diri semakin lama semakin menjulang ke kanan, hilang, memanjang lagi ke kiri. Alunan irama gemericik air dan sulingan air menyatu. Mengantarnya menuju realita hidup.

"Sayapku yang satu ini sulit sekali sembuh. Tiap kali selalu terluka oleh permasalahan yang sama. Tapi obat untuk menyembuhkannya selalu sulit ditemukan. Saat ini hanya menunggu, menunggu balutan perban dari tiap orang yang berbeda. Mungkin suatu saat nanti akan ada permanen yang membalut sayapku hingga sembuh kembali. Karena, aku percaya sayap itu akan sembuh demi cinta yang kukejar."

Hari berganti hari, waktu berlalu, musim dingin telah tiba, dan gemerlap Natal menyentuh bumi. Kini sayap itu telah sembuh, justru sayap itu semakin kokoh. Dan, pada malam penuh cinta dan harapan, sepasang sayap itu membawanya pergi meninggalkan balutan penuh noda, penuh penderitaan, sakit hati, dan kebencian. Menuju cinta yang abadi. Kepakan sayap yang lembut membelai malam, menyisakan gema dalam cahaya bulan.
"Sayap itu kini telah sembuh…"

SEPOTONG CINTA DI HUTAN KARET

Sepotong cinta di hutan karet bag 1

Hujan begitu deras sore ini. Istriku, wanita sederhana yang kunikahi 3
tahun yang lalu nampak asyik menekuni kegemarannya mengisi TTS. Ah,
mengapa setiap memandang wajah sederhananya selalu terbersit perasaan
bersalah? Mengapa tidak bisa kuberikan seluruh cintaku padanya? Hujan
memang bangsat. Setiap titik airnya selalu menggoreskan rinduku
padanya. Istriku? Bukan, Neva. Wanita yang selama sepuluh tahun ini
dengan setia mengisi satu pojok hatiku. Wanita yang selalu membuatku
merasa bersalah pada istriku.
Perkenalan pertamaku dengannya terjadi sepuluh tahun yang lalu. Waktu
itu aku harus mengikuti KKN dari universitas paling ternama di
Yogyakarta. Pertama kali kenal, aku tidak peduli karena waktu itu aku
baru putus dari pacarku. Bayangkan saja 4 tahun aku pacaran dan dia
memutuskanku begitu saja. Neva bertubuh sedang, rambut dipotong pendek
ala Demi Moore, wajahnya lumayan manis. Tapi yang paling menarik
adalah sinar matanya yang hangat, tulus , bersahabat dan selalu
tertawa. Seminggu orientasi aku masih tidak begitu peduli bahkan
sering terganggu dengan gaya ketawanya yang begitu spontan. Kebetulan
kami satu regu.
"Mas.. mau kopi?" sapaan istriku membuyarkan lamunanku ttg Neva.
Dengan cepat aku mengangguk. Entah mengapa aku kesal karena lamunanku
terhenti.
"Aduh... Yok... bagus ya desanya... Uih... kayak negeri para dewa,"
Neva spontan berkomentar saat kami tiba di desa yang terletak di
lereng Merbabu. Hm.. bener juga gumanku. Tempat regu kami tinggal
adalah rumah kosong di pinggiran hutan karet. Tiap pagi embun turun
dan menari di sela-sela hutan karet itu dimana sinar matahari dengan
lembut menyeruak di antaranya. Dan setiap bangun pagi, aku selalu
dikejutkan senyum Neva sambil menyeruput kopinya (entah jam berapa dia
bangun pagi).
"Pagi.. Yok! uh... tadi bagus deh..." dan berceritalah dia tentang
kegiatan jalan-jalan paginya.
Entah, akhirnya setiap pagi kami selalu bercerita tentang bayak hal
sambil menikmati kopi. Baru kusadari wanita ini di samping begitu
mandiri dia juga cerdas luar biasa. Dia bisa bercerita mulai dari
Nitsche, harga saham, Picasso, Pink Flyoid sampai kemiskinan. Yang
luar biasa dia ternyata pernah mendapat beasiswa pertukaran pelajar,
pinter main piano dan bekerja part time (meski dia berasal dari
keluarga yang cukup berada). Aku semakin suka berada di sampingnya.
Di mataku kecerdasannya membuat dia begitu menarik, cantik dan seksi.
Hingga suatu malam saat kami ngobrol berdua saja di teras dia
mengejutkanku dengan pernyataannya, " Yok... aku ini sudah nggak
perawan." Aku begitu terkejut, bagi orang sepertiku yang dididik sejak
kecil bahwa seorang wanita harus menyembunyikan emosinya, pernyataan
seperti ini begitu mengguncang emosiku
"Ya... Tuhan... wanita seperti ini yang aku cari..." seruku dalam
hati. Betapa jujurnya dia.
Dia bercerita tentang rasa cintanya yang begitu besar pada pacarnya,
kesedihannya karena pacarnya tak pernah memintanya menjadi istrinya
meski mereka telah pacaran hampir 6 tahun. Tanpa kutahu pasti, aku
telah jatuh cinta padanya dan yang menyedihkan aku tidak berani
menyatakannya. Aku nikmati saja hari-hari KKN ku. Kami main air di
sungai, jalan-jalan. Setiap pacarnya datang, kutekan rasa cemburuku
dan sakitku bahkan aku dengan gaya yang sok berbesar hati sering
mengantarnya ke terminal untuk pulang menengok pacarnya. Setiap kali
sehabis pulang, dengan gaya lucunya dia bercerita tentang
persetubuhannya dengan pacarnya. Neva... tahukah kau aku mencintaimu?
Sampai suatu hari, aku dan dia pergi ke kota asalku Solo untuk mencari
sponsor bagi pasar murah yang akan kami selenggarakan. Tanpa terasa
kami kemalaman.
"Nev... kita nginap di rumah ibuku yuk?"
Sungguh! Waktu itu aku tidak punya pikiran apapun. Dan seperti yang
sudah kuduga, keluargakupun sangat menyukainya. Bahkan ibuku bilang,
"Dia lain ya sama Rini? Anaknya ramah dan baik". Ah.. betapa inginnya
aku bilang, "Dia wanita yang kuinginkan jadi istriku, bu".
"Yok... aku tidur dimana?" tanya Neva.
"Dikamarnya Iyok aja, nak. Itu di kamar depan." ibuku begitu
bersemangat menata kamarku.
"Wah... ntar Iyok tidur dimana?"
"Biar tidur di sofa ruang tamu".
Rumah ku memang agak aneh, hampir seluruh kamarnya ada di belakang,
hanya kamarku yang terletak di depan.
Malam itu aku gelisah tak dapat tidur. Entah mengapa aku begitu rindu
pada Neva. Gila! Padahal seharian tadi aku bersamanya. Seperti ada
yang menggerakkan aku pergi ke kamarku di mana Neva tidur dengan
memakai daster ibuku!. Nampak tidurnya begitu damai. Ya... ampun baru
kusadari betapa besar cintaku padanya. Tanpa terasa aku belai pipinya
dengan lembut. Dia menggeliat. Oh.. sungguh seksi sekali.
Tiba-tiba saja tanpa dapat kubendung kucium bibirnya dengan kelembutan
yang tak pernah kuberikan dengan pacarku dahulu. Neva membuka matanya,
dan baru kusadari betapa indah mata itu.
"Yok?"
Tapi dia tidak berbuat apa-apa. Kembali kukulum bibirnya, diapun
menyambut dengan hangat ciumanku. Lidahnya bermain begitu luar biasa
di lidahku. Tanpa terasa sesuatu yang keras menyembul dari balik
celanaku. Kuciumi dengan hangat lehernya, dia menggelinjang geli.
Dibalasnya ciumanku dengan ciuman lembut di leherku, turun ke dadaku.
Lalu dengan gerakan yang begitu lembut, dilepasnya kaosku. Kubalas
ciumannya dengan ciuman di dadanya. Ya... ampun... dia tidak memakai
bra. Terasa putingnya mengeras dan dadanya begitu kencang. Tanganku
masuk dari bawah dasternya. Ugh... dadanya begitu penuh.
Gelinjangannya begitu mempesona. Dia begitu meenikmati sentuhanku.
Tiba-tiba dia menggerang, " Don... ah...". Bagai tersengat listrik,
kulepaskan cumbuanku. Ada rasa nyeri menyeruak di dalam dadaku. Dia
menyebut nama pacarnya! Neva pun tersadar.
"Yok... maaf..." segera diambilnya kaosku.
"Pergilah... maaf... aku... aku... kangen sama Don". Diapun menundukan
kepalanya. Mungkin orang menanggapku gila karena keterusterangannya
justru membangkitkan gairahku. Entah aku begitu yakin akan perasanku
padanya, rasa cintaku dan aku ingin dia memilikiku. Akan kuberikan
keperjakaanku padanya. Ya... aku masih perjaka! Meski aku pacaran
serius selama 4 tahun dengan Rini, aku adalah laki-laki yang begitu
menghargai keperjakaan. Bahkan aku pernah bersumpah hanya kepada
istriku akan kuberikan keperjakaanku. Seperti ada kekuatan gaib tiba-
tiba aku bertanya.
"Nev... maukah kamu mengambil keperjakaanku?"
"Tapi... Yok?"
"Aku tidak peduli Nev... aku mencintaimu... aku ingin kamu yang
mengambilnya... aku ingin kamu menjadi istriku" sambil kugenggam
tangannya. Ada buliran air mengalir dari mata bulatnya. Neva hanya
terdiam, dan dengan lembut diambilnya tanganku dan dibawanya ke
dadanya.
"Kamu begitu tulus...Yok...". Hanya itu kalimat yang keluar dari
mulutnya. Selanjutnya dia mencium bibirku, pertama lembut sekali tapi
makin lama makin liar, dibaringkannya tubuhku di tempat tidur.
Lidahnya menjilati belakang telingaku, turun.. keputingku... ke
tanganku... lalu turun ke ibu jari kakiku.. ke.. atas... ke paha... ya
ampun! Aku belum pernah melakukan ini. Dulu dengan Rini aku hanya
melakukan sebatas `pas foto', itupun dengan baju yang terpakai. Tiba-
tiba gigitan kecil dikelelakianku membuatku tersentak, dengan giginya,
dibukanya celana pendekku, lalu celana dalamku. Ya.. aku telanjang
bulat di hadapannya. Lalu dengan gerakan lembut dia membuka dasternya,
lalu celana dalamnya. Aku masih dalam posisi terlentang.
Antara bingung dan gejolak yang luar biasa. Dengan senyum manisnya,
Neva menjulurkan lidahnya ke arah lelakianku. Dimainkannya ujung
lidahnya di pangkal kelelakianku. Aaggh... ya Tuhan... inikah Surga-
Mu? Aku tak mampu berkata apa2 saat mulutnya mengulum kelelakianku
sambil sesekali diselang-seling dengan mencepitkan buah dadanya.. Aku
hampir saja tak kuat menahan lava di dalam kelelakianku. Tapi di saat
aku hampir menyemburkannya, tangannya dengan lembut memijat pangkal
kelelakianku itu. Ajaib, lava itu tak jadi keluar meski tetap
bergejolak.
Demikianlah... hal tersebut dilakukannya berulang kali. Hingga dia
berkata... "Yok... aku ingin memberimu hadiah yang tak kan kamu
lupakan". Dia lalu duduk di atasku, tepat di atas kelelakianku.
Diambilnya kelelakianku terus dengan gerakan begitu lembut
dimasukkannya ke dalam kewanitaanya. Ugh... ah.. erangannya begitu
mempesona. Dan akupun memegang pantat bulatnya. Tapi segera dia
berkata" Ssst... I will make you happy Yok!". Terus dengan gerakan
memompa dan memutar, kurasakan seluruh darah mengalir ke bawah.
Keringat membasahai seluruh tubuhnya. Sambil berciuman kurasakan dia
memompa kewanitaaanya. Lalu dicengeramnaya tubuhku kuat-kuat. Aggh..
agh... seluruh ototnya meregang. Putingnya tegak berdiri dan
disorokannya ke mulutku. Lalu dengan keliaran yang tak kubayangkan
sebelumnya kulumat habis puting itu sambil membalas pompaannya. "Ah...
terus.. Yok.. terus... jangan berhenti" rangannya semakin mebuatku
liar. "Lagi... Yok.. lagi... ini ketiga kalinya... ayo Yok..." Dan
tanpa dapat kutahan lavaku menyembur. Neva segera menariknya keluar.
Lalu dijilatinya cairan lava itu. Kenapa dia tidak jijik? Dengan
senyum manisnya seakan dapat membaca pikiranku. "Nggak Yok... aku
ingin membuatmu senang". Ya Tuhan, aku sangat terharu mendengarnya.
Bagiku dia telah menjadi istriku. Malam itu, kami tiga kali bercinta
dan ketiganya Neva yang `memberiku'. Hm... aku berjanji, suatu saat
aku akan memberikan `sesuatu' yang sangat hebat...
"Mas... kopinya kan sudah dingin. Kok nggak diminum?" Ah...lagi-lagi
sapaan istriku membuyarkan lamunanku. Neva... dimana kamu sekarang
(istriku)?

Solo,12 Desember 2000

Sepotong cinta di hutan karet bag 2

"Pada sepi yang tiba
Keyakinanku yang rapuh
Kuusik sendiri:
Wajahmu tak tahu berjanji
Dalam sinar baur kabur
Dan bunyi seretan sandal
Kusumpahi engkau
Yang terus membuntutiku
Membuntukan seluruh
perjalananku..."

Hutan karet itu masih seperti dulu. Bau tanah basahnya, getah
karetnya, bahkan dangau tempat para pemanen karet beristirahatpun
masih ada di tepinya. Neni istriku tampak sesekali merapatkan
pegangannya di pinggangku. Langit sangat gelap, mendung menari dengan
seenaknya dan membawa udara dingin menerpa perjalanan kami menuju
rumah kepala desa tempatku dulu KKN dan motorku dengan usia rentanya
nampak terpatah-patah mendaki jalanan yang berbukit. Ah, semoga kami
belum terlambat menghadiri pemakaman kepala desa yang baik hati itu.
"Kenapa sih mas... motor butut ini nggak dijual saja. Beli motor Cina
juga nggak apa-apa." keluh istriku.
Dan seperti biasanya aku hanya terdiam tak tahu bagaimana cara
menerangkannya alasanku sesungguhnya.
"Ha.. ha.. Yok... ini sih sepeda onthel bukan motor" tawa lepas Neva
waktu motorku mogok di jalan dekat hutan karet itu saat itu.
"Biarin, kenapa kamu mau aku goncengin?" Aku pura-pura marah.
Mendengar nada suaraku yang kelihatan kesal. Mata Neva yang bulat
segera membelalak dengan lucunya.
"Ah.. kamu nggak asyik. Gitu aja marah" Dia gantian memberengut dan
mulutnya terkatup rapat. Garis mukanya mengeras, dahinya mengrenyit.
Lho? Aduh gimana nih? Sumpah, aku tidak bermaksud membuatnya
tersinggung. Aku kelabakan
"Ngg... anu. Nev... aku... aku... maaf... tadi... ngg" Aku tidak bisa
meneruskannya karena tak tahu harus bagaimana. Sungguh mengapa aku
begitu takut membuatnya marah, takut dia tak mau lagi bersamaku. Saat
aku bergulat dengan kekawatiranku, tiba-tiba sebuah ciuman mendarat di
pipiku
"Mmuah!" Neva menciumku sambil terkekeh-kekeh geli karena berhasil
mengecohku. Antara lega, kaget, senang dan malu. Terlebih beberapa
penadah karet yang berpapasan dengan kami nampak jengah dan malu
melihat kespontanannya yang tak bosan-bosannya memukauku.

"Nev.. sst.. ntar dilihat orang"
"Ha.. ha... biarin! ha.. ha... gotcha! Takut aku marah ya? He.. he..."
Dia masih ketawa geli. Begitu menggemaskan, ingin rasanya kupeluk
erat-erat. Segera kuusap-usap rambutnya yang mulai memanjang dan awut-
awutan itu dengan penuh kasih.
"Sayang ya?" tanyanya manja (baru kusadar, dia tidak penah menampakkan
kemanjaan ini kepada siapapun selama kami KKN. Beginikah dia sama Don?
Persetan! Segera kuusir perasaan buruk ini). Kupandang dalam ke mata
lucunya. Aku tahu pasti, dia bisa membaca apa yang terukir indah di
dalam hatiku.
Hujan tumpah tanpa terbendungkan lagi. Angin menjadi semakin kencang
seolah mengejek motorku yang semakin terseok.
"Nen.. kita berteduh di dangau itu saja" segera kupinggirkan motorku
ke dangau di tepi hutan itu. Daun kelapa kering yang menjadi atapnya
nampak koyak di beberapa bagian. Tapi masih lumayanlah di pojok
sebelah kanan masih ada tempat yang kering.
Sebelum kami duduk di bangku bambu yang sudah tampak lusuh dan banyak
sisa pohon kering, kubersihkan bangku itu dengan tanganku, dan dengan
ketergesaanku itu mengakibatkan sebuah paku kecil yang menyembul
menyayat jari telunjukku. Darah segar segera mengalir.
"Oouch!"
"Yok... aduh... tanganmu berdarah" Neva berteriak dengan kecemasan
yang tak dapat disembunyikannya. Segera diambilnya jari telunjukku dan
dikulumnya di bibirnya yang tak tersentuh lipstik. Pemandangan di
depanku membuatku tak mampu berkata sepatah katapun. Begitu indah,
begitu ingin kubekukan dan kubingkai selamanya. Rambut dan mukanya
yang basah karena guyuran hujan membuat bibirnya sedikit kebiruan.
Celana jeans dengan dengkul sobek plus kaos putihnya basah kuyup dan
membuat lekukan di dadanya menjadi sangat jelas. Warna hitam dari
branya memberi aksen pada lukisan indah dihadapanku ini. Dengan
perlahan dan lembut dikulum dan disedotnya darah dari jariku.
Kurasakan di ujung jariku kelembutan lidahnya menyentuh lukaku. Perih
yang tadinya begitu kuat menggigit ujung jariku secara perlahan
berganti menjadi kehangatan yang menjalari seluruh ujung kepekaanku.
Masih kurasakan kebahagiaan yang kuperoleh beberapa hari yang lalu di
rumahku saat kami menginap. Aku rindu sentuhannya, aku rindu....
"Nah... sudah mendingankan?" jariku yang dicabut dari mulutnya
membuyarkan kenanganku. Ada sedikit rasa kecewa di perasaanku. Tapi
rasa maluku mampu menekannya dalam-dalam. Entah, sejak kejadian di
rumahku itu, aku merasakan kedekatan yang luar biasa di antar kami.
Nevapun semakin jarang membicarakan Don, meski dihadapan teman-temanku
seregu dia nampak dengan sengaja melontarkan kerinduannya pada
kekasihnya itu dengan ujung mata yang sesekali mencuri pandang ke
diriku. Kekasihnya? Siapa? Don? Aku? Aku takut dengan jawaban
pertanyaan itu dan aku tidak pernah mempertanyakannya. Aku hanya
yakin, Neva juga melakukannya dengan hatinya.
"Hey.. jangan melamun dong, Mas!" sapaan istriku lembut tapi kurasakan
ada kejengkelan di dalamnya.
"Nggak... cuma hujan kayak gini pasti lama... kita terjebak di sini
nih!" sambil kupeluk istriku.
Ada rasa syukur yang besar saat hujan turun dengan derasnya diiringi
angin besar. Neva merapatkan duduknya sambil tak bisa menyembunyikan
gigilan dingin yang menerpanya. Sepenuh hati segera kupeluk karunia
indah ini dan kuberikan seluruh kehangatan jiwaku padanya. Kurasakan
balasan pelukannya begitu lembut tapi tegas. Dengan rasa sayang yang
luar biasa kucium rambut basahnya. Nampak dia terpejam menikmati rasa
sayangku itu. Tanpa sadar kuteruskan ciumanku di telinganya, dia
mengelinjang kegelian, kutelusuri belakang telinganya dengan ujung
lidahku, kemudian lehernya. Dia lalu menengok dan dengan hangat
diciumnya bibirku. Lidah-lidahnya bermain di rongga mulutku dan tangan
kanannya mengambil tangan kiriku untuk diletakkan di atas dadanya.
Hujan yang semakin deras melarutkan percumbuan kami. Ditariknya
mulutnya dari mulutku "Yok... tapi nggak usah main ya?". Dengan kelu
kuanggukkan kepala. Neva kemudian pindah ke depanku menghadap ke
arahku, bra hitam basahnya yang nampak samar di kaos basahnya tepat di
hadapanku. Disorongkannya dadanya ke mulutku, segera kulumat kaos
basah itu sambil mulutku sesekali menggigit lembut ke dua bukit
indahnya. Sambil memekik kecil karena gigitan itu ditariknya kasonya
ke atas, nampak bra hitamnya memiliki bukaan di depan. Dibukanya
bukaan itu. Ya ampun, kedua bukit itu tegak berdiri dengan puncak
hitamnya yang mengeras (entah karena kedinginan atau keinginan).
Kulahap habis kedua puncak hitam itu bergantian. Kugigit-gigit lembut
dan Nevapun mengelinjang kegelian. Kuremas-remas pantatnya yang
tergolong besar itu sehingga dia dengan gerakan yang begitu ekspresif
semakin menyorongkan dadanya ke mulutku. Kedua bukit itu makin keras.
Tiba-tiba dengan gerakan yang agak kasar ditariknya kedua dadanya dari
mulutku. Neva segera berjongkok, dibukanya risleting celana jeansku
dan dikeluarkannya kelelakianku, segera dilumatnya kelelakianku dengan
gerakan yang menagihkan. Digigit-gigit kecilnya ujung kelelakianku,
ditelusurinya batang tubuhnya dengan ujung lidahnya hingga ke pangkal.
Gelinjang sensasi kenikmatan yang kurasakan membuatnya mempercepat
gerakan makan es krimnya. "Ugh... ah...... akhhhhhhhh... Nev..
ahhhhhhh" tak mampu aku berkata apa-apa. Lavaku sudah mendekati puncak
dan Neva akan menekan pangkal batang kelelakianku bagian bawah, tiba-
tiba...
Grung... grung... suara mobil membuat kami bagaikan kesetanan segera
membenahi baju kami. Dengan napas tersengal, kami segera duduk sambil
ngobrol yang tak jelas.
"Mbak.. Mas... bareng aja yuk?" pak lurah yang baik hati itu
menghentikan mobil kijang bak terbukanya. Dengan senyum sedikit kecut
kami terpaksa numpang mobil itu dengan motor tuaku nangkring di bak
belakang.
"Nev.. aku pusing!" bisikku. Neva hanya mengangguk sambil jarinya
meremas jemariku.
"Yah... memang hujan seperti ini membuat kita gampang masuk angin,
pusing. Nanti sampai di rumah biar ibunya anak-anak bapak suruh
ngerokin nak Iyok." Pak lurah yang baik hati itu dengan polosnya
menyahut. Aku dan Nevapun berpandangan dengan senyum antara geli dan
kecut.

"Kematian adalah tantangan,
kematian mempertegas kita untuk tida melupakan waktu,
kematian memberi tahu kita untuk saling mengatakan saat ini juga
bahwa.... kita saling mencintai..."

Rumah pondokan KKNku juga masih seperti dulu. Dinding batakonya, kedua
kamarnya (satu untuk Neva dan Santi, sedangkan yang lainnya untuk
Hendra, Made, Sugeng dan aku. Ah... teman-teman sereguku itu juga tak
kuketahui rimbanya kini...) kini ditempati keponakan pak lurah yang
baik hati itu. Rumah pak lurah hanya beberapa ratus meter dari rumah
itu. Bu lurah dengan mata yang masih sembab menyambut kedatanganku
dengan keharuan yang mendalam. Kukenalkan Neni, kemudian kusalami dia.
Masih kurasakan kehangatan perhatiannya saat mengerokiku dulu
ditangannya
"Makanya mas Iyok... mbok motornya diganti saja. Kalo gini kan kasihan
mbak Neva nggak bisa nonton ke Salatiga sama mbak Santi dan yang lain.
Mereka tadi nunggunya lama lo... mas Made yang ngusulin ninggal. Marah
lo dia" sambil sesekali dipijitnya tengkukku. Sambil tersenyum menahan
kerokan yang tak kuinginkan ini aku hanya diam saja. Kalau kutanggapi
bisa-bisa sampai subuh bu lurah yang masih menyisakan kecantikan masa
mudanya ini tak bisa menghentikan obrolannya. Padahal aku begitu ingin
segera kembali ke pondokanku menyusul Neva yang tapi pura-pura pamit
menyelesaikan persiapan mengajarnya di SMP desa. Akhirnya siksaan
kerokan itu berlalu, sambil pura-pura mengantuk karena Procold aku
bergegas ke pondokanku.
"Nen.. ini kamarku dulu, dan yang itu kamar Santi dan Neva" waktu
kusebut namanya ada kelu yang mnyekat di kerongkonganku. Untunglah
keponakan pak lurah segera menyuruh kami minum teh hangat.
"Nev... mau teh hangat?" kuambilkan secangkir teh dari rumah pak
lurah, jangan-jangan Neva sakit beneran? Ada rasa cemas yang menyusup
saat aku masuk kamarnya dan kulihat dia meringkuk tak bergerak.
"Mau dong" sambil mengeliat bangun dari tidur ayamnya. Syukurlah, dia
tak apa-apa. Sesaat setelah menghabiskan teh dia menengadah...
"Yok?" bisiknya
"Ya?"
"Selesain yuk?". Ah.. betapa inginnya aku agar Neni bisa mengutarakan
keinginannya seperti dia.
Segera kukunci pintu depan. Dan dengan setengah berlari aku kembali ke
kamar Neva. Begitu kubuka kamar, Neva ternyata telah menanggalkan
seluruh celana pendek dan kaosnya. Hanya tinggal bra hitam dan celana
hitamnya (aku tak tahu kenapa dia begitu tergila-gila warna hitam,
hampir seluruh pakaian dalamnya hitam). Dengan reflek kubuka bajuku
segera kutubruk dia. Neva sedikit meronta dan itu membuatku semakin
bergairah. Tak tahu, rasanya kami terburu-buru, mungkin karena rasa
takut ketahuan. Neva segera menanggalkan pakaian dalamnya dan segera
memintaku untuk memasukkan kelelakianku di lubang kewanitaannya.
Entah, aku justru menunduk dan kuciumi dengan lembut. Bau kewanitaan
itu begitu khas, aku belum pernah membauinya. Dengan reflek kujilati
pinggirannya dan benda kecil yang tampak memerah tegang ditengahnya.
Neva mengelinjang dengan hebat tangannya sedikit menjambak rambutku
dan membenamkan kepalaku semakin dalam ke lubang itu. Aku begitu
menikmati permainan ini. Sumpah aku belum pernah melihat gambar atau
film seperti ini. Semuanya kulakukan dengan reflek naluriku belaka.
Lidah-lidahku semakin liar menari-nari di lubang itu dan kumasukkan
semakin dalam dan dalam. Kedua tanganku ke atas memegang bukit
indahnya yang semakin keras dan mengeras. Kupelintir kedua puncak
hitamnya, kumainkan sampai kurasakan air semakin deras di
kewanitaannya. Kujilati air itu, kuhisap, kutumpahi ludahku bercampur
dengan air itu. Kuhisap lagi. Kedua puncak hitam bukit indahnya
semakin keras kupelintir, kugemggam dengan liar kedua bukit itu,
kuremas-remas, kuperas dan...
"aaaaaaaaahhhhh... oh yes... yes. uh...... ahhhh.." panggul Neva
dengan sangat liarnya melakukan gerakan memompa. "Oooohhhhh...
Yesss!!!!" dibenamkannya semakin dalam kepalaku ke dalamnya. Ya..
Tuhan.. begitu bahagianya diriku melihatnya begitu puas. Segera
kucabut lidahku dan dengan ujung lidahku kujilati seluruh tubuhnya.
Neva semakin menggelinjang, kulumat habis kedua bukit indahnya dengan
puncak yag begitu keras. Ah... aku tak kuasa menahannya lebih lama
dan...
Blesss!!! Kumasukkan kelelakianku ke dalam kewanitaannya. Dipegangnya
kedua pantatku dan ditariknya ke dalam lubang itu semakin dalam.
Sambil kulumati kedua bukit indahnya, kelelakianku terus mempa dengan
rasa cintaku yang luar biasa.
"Yok... ayo... yok... ah... terus... terus.. oh yesssss!" saat itu
kusemburkan lava kelelakianku di atas tubuhnya. Segera dioles-
oleskannya ke seluruh tubuhnya. Ah betapa cantik dan seksinya dia...
Saat Santi dan teman-temanku pulang, Neva sudah tertidur kelelahan.
Dan aku pura-pura nonton TV di rumah pak lurah. Waktu teman-temanku
menceritakan betapa hebatnya film yg ditonton. Aku hanya pura-pura
kesal dengan kebahagiaan yang tak terkira.
"Mas.. pulang yok.. udah sore nih..."
Angin senja membawaku kembali ke Solo sambil masih terngiang dengan
jelas bisikan Neva sesudah mengakhiri permainan kami.

"aku ini badai dan samudera,
hutan tergelap dan pegunungan terjal dan liar.....
betapa inginnya kualamatkan selalu kerinduanku
pada tempat ini"

Solo, 14 Desember 2000

Sepotong cinta di hutan karet bag 3 (selesai)

Telah sebulan KKN selesai. Dan selama itu pula aku tidak bertemu
dengan Neva. Rindu ini begitu mencabik-cabik pembuluh darah dalam
nadiku dan mengakumulasi ke kelenjar otak. Bambang dan Panca, teman-
teman sekontrakanku sampai heran dengan diriku yang tiba-tiba menjadi
pemarah dan sensitif. Akhirnya aku ceritakan bahwa aku jatuh cinta
dengan perempuan itu. Saat kutunjukkan fotonya, Panca begitu terkejut
ternyata Neva teman basketnya di tim universitas. "Wah... kamu pinter
milih, Yok! Kalo dia aku ya mau juga," jawabnya terkekeh
Aku tahu saat ini pasti Neva sedang ngebut nyelesain skripsinya. Dia
pernah bilang dia harus selesai dalam hitungan 2 bulan. Benar-benar
gila anak itu otaknya. Aku jadi malu ke diriku sendiri. Dibandingkan
dia aku belum melakukan apa-apa dalam hidupku untuk diriku sendiri.
Panca jadi heran dengan perubahanku yang begitu tiba-tiba. Aku jadi
lebih sering mengerjakan proposal skirpsiku yang telah sekian lama
terbengkelai. Jadi sering ke perpustakaan pusat (hm... siapa tahu Neva
ke sana). Sudah beberapa kali aku coba ke rumahnya yang sangat besar
di utara Yogya itu. Tapi mobil Don yang sering nongkrong di depan
rumah itu membuatku kecul sendiri. Kamu memang pengecut Yok! Entahlah.
Sampai suatu hari aku pergi ke perpustakaan dan wanita yang duduk
tekun di pojok membuat wajahku pias. Neva? Dia duduk sambil memelototi
buku the Trial-nya Frans Kafka (Pasti buat referensi skripsinya.)
Kacamata bacanya membuat wajahnya menjadi begitu menarik. Sosok
kecerdasan yang luarbiasa digabung dengan keperempuanan yang
menyihirkan.
Kudekati dia dan kusapa.
"Hei!"
"Hey!" jawabnya datar.
"Sedang apa?
"Berenang!" jawabnya seenaknya. Seharusnya aku tahu, aku tak bisa
mengganggunya kalau sudah ada buku di tangannya. Biar ada bom
meledakpun dia tak akan bergeming. Aku hanya terdiam memandangnya
sambil berharap dia akan memandangku, tapi harapanku itu sia-sia. Dia
tak bergeming sedikitpun. Sampai sebuah sosok laki-laki mendekat ke
arah kami, Don!
"Hey.. Yok? sudah lama?" sapanya hangat Aku hanya mengangguk dengan
senyum yang pasti begitu aneh. Neva segera bangkit. "Yuk Don pulang...
pulang dulu ya Yok!" tanpa menunggu jawabanku dia mengeloyor pergi
begitu saja. Aku hanya terbengong dan kelu.

Kriiing! Weker ayamku membangunkan tidur siangku. Dengan
kecepatan kilat yang luar biasa aku mandi dan segera bergegas
mengambil ranselku, Sialan, kenapa sih pak Sutoyo dosen pembimbingku
bikin janji jam 4 sore gini. Saat membereskan laporan-laporanku si
Bambang menggedor pintu kamarku. "Yok... aku berangkat dulu, pulangnya
mungkin bulan depan," pamitnya. Ya ampun baru aku ingat sore ini dia
mau ke Sulawesi mau melamar tunangannya.
" Ya... hati-hati... salam buat Tasya!".
Tak berapa lama kemudian pintuku mulai digedor lagi. Kenapa lagi sih ?
"Ngapain Mbang? Ada yang ketinggalan?"
"Ngg... anu Yok ada tamu!"
Kenapa sih anak itu, ada tamu kok mbingungi. Segera kubuka pintu
kamarku. Seolah-olah ada sebongkah besar batu menyekat tenggorokanku
dan aku hampir tak bisa dibuat bernapas karenanya. Neva! Perempuan itu
berdiri dengan kostum seperti biasanya, kaos dan jeans belel. Tapi di
pundaknya ada ransel yang lumayan besar. Mau ke Merapikah?
"hey... boleh nginap di sini?" tanyanya cuek dan tanpa menunggu
jawabanku dia langsung masuk kamar. Ah anak itu memang penuh dengan
kejutan. Seperti orang linglung aku bahkan tak sempat mengenalkan
Bambang yang terburu-buru pergi.
"Mama nyusul Papa ke New York. Don pergi ke Kalimantan. Ada riset di
Kalcoal. Males di rumah. Sepi!" seolah-olah tahu keherananku dia
merebahkan tubuhnya ke kasur yang tergeletak begitu saja di lantai.
Anak tunggal pasangan dokter bedah ternama di kota ini memang paling
takut sendiri di rumahnya yang super besar itu.
"Sampai kapan?" tanyaku sekenanya.
"Tahu! Mungkin sebulan. Kalo mama dan papa sih lima minggu. Soalnya
mereka mau ke Eropa sekalian. Nengokin om Jon, adik mama di Paris.
Kamu kalo mau pergi, pergi aja aku ngantuk!" dia lalu membalikkan
tubuhnya . Kalau tidak ingat dosenku itu sangat susah ditemui, pasti
kubatalkan kepergianku.

Sepanjang pertemuanku dengan pak Sutoyo, tidak sedetikpun
konsentrasiku ke proposal yang aku bikin. Sialnya dosenku itu justru
malah kuliah panjang lebar tentang teoriku yang salah. Saat sesi itu
selesai, baru kusadar telah tiga jam aku meninggalkan Neva di rumah
kontrakkanku. Bagaikan kesetanan aku memacu motor tuaku ke rumah
kontrakkanku di daerah Mbesi sambil tak lupa menyempatkan di warung
langggananku untuk 2 botol besar Coke dan seplastik es batu (minuman
kesukaan Neva). Hm.. mengapa rumahku gelap? Pasti si Neva ketiduran.
Kubuka gerendel, aku terkejut beberapa lilin menerangi kamar tamuku.
Mati listrikkah? Sayup-sayup kudengar kaset Michael Frank dari
kamarku. Lalu dengan pelan takut menganggu tidur perempuan itu kubuka
kamarku. Dan pemandangan di kamarku membuat kedua mataku hampir keluar
dari tempatnya karena ketakjubanku. Beberapa lilin yang mengapung di
tembikar yang penuh dengan kemboja nampak menghiasi beberapa sudut
ruangan. Spreiku telah diganti menjadi biru tua polos dan bertaburan
melati dan bau dupa eksotis membuat kamarku demikian cozy. Beginikah
honeymoon suite room? Neva dengan rok terusan selutut bertali dan
sersiluet A tersenyum menyambutku. Kain rok itu begitu tipis dan
ringan, warna putihnya mengingatkan aku pada turis-turis yang sering
memakainya di Malioboro. Tampak kedua dadanya penuh dan kedua puncak
hitamnya yang menonjol menyadarkanku bahwa dia tidak memakai bra hitam
kesukaannya. Setangkai kamboja menyelip di telinganya. Ah... pantas
bule-bule itu menyukai perempuan negeri ini. Ada satu karakter yang
kuat memancar dengan dahsyatnya. Saat lagu "Lady wants to Know"
mengalun, Neva memegang tanganku.
"Shall we dance?". Kuletakkan semua bawaanku begitu saja dan dengan
ketakjuban yang masih menyelimuti perasaanku kusambut tangannya,
kupeluk dia dengan kerinduan yang tak kunjung usai. Harum parfum
Opiumnya Yves Saint Laurent semakin meempererat pelukanku. Sesekali
kucium tangannya yang kugemnggam sangat erat. Kamipun terus berpelukan
hingga satu lagu itu usai. Saat lagu kedua mulai, tiba-tiba perempuan
itu mendongakkan kepalanya yang tadinya rebah di dadaku.
"Bercintalah denganku?
Setubuhi aku dengan jiwamu...
Bawalah aku ke dalam darahmu
Biarlah aku terus menjadi hantu yang selalu menghuni satu sudut ruang
hatimu..." bisiknya lembut.
Kata-kata itu bagaikan sihir yang membutakan seluruh sendi
kesadaranku. Tanganku turun dan dengan perlahan kusentuh dengan lembut
kedua dadanya. Bibirnya yang penuh kukecup dengan penuh kasih lalu
segera kulumat dan kuteruskan dengan penjelajahan ke lehernya dengan
kecupan-kecupan hangat. Gigitan-gigitan kecil di dadanya terkadang
membuatnya tersengat. Kain di dadanya segera basah oleh ciumanku dan
kedua puncak hitamnya tegak berdiri di balik samar warna putih. Dengan
kepasrahan yang penuh, perempuan itu kugendong ke ranjangku. Kubuka
dengan perlahan bajuku dan dalam hitunga detik kami telah ada dalam
kepolosan yang purba."Please... explore me!" rintihnya saat kujilati
bibir kewanitaannya. Entah mengapa aku begitu kreatif saat itu. Segera
kuambil ikat pinggangku dan kuikat kedua tangannya kebelekang lalu dia
kududukkan sambil kututup mataku dengan syal batik ibuku yang selalu
kubawa. Oh Tuhan (masih pantaskah aku menyebutNya?) betapa
menggairahkan pemandangan di dekapanku. Kuambil bongkahan es batu
dalam plastik dan kubanting ke lantai.
Gedubraaaak!
"Suara apa itu?" pekiknya kaget. Pertanyaan itu tidak kujawab dengan
jawaban tetapi dengan ciuman liar dan hangat di bibirnya. Tanganku
memegang sebongkah es batu dan kutelusuri seluruh tubuhnya dengan es
itu dengan gerakan bagai lidah di tempat-tempat sensitifnya."Arrgh..
ah... ugh.. ugh!" dia menggelinjang dengan hebatnya karena sensasi
itu. Saat kupermainkan bongkahan es di puncak hitamnya yang sangat
kaku mengeras dia mengaduh "Uuuh... hisap... please!" rintihnya. Lalu
kuhisap ke dua puncak itu sambil kugigit-gigit kecil. Gelinjangnya
semakin liar. Lalu es itu kujelajahkan di atas kewanitaannya. Tanpa
dapat dibendung lagi dia mengerang hebat dengan erangan yang tak
pernah kudengar (ah mungkin waktu itu tempatnya tidak sebebas di
kontrakkanku). "Arrgh.. uh.. oh... yessss... oh... ah.. great...
baby..." saat es yg semakin kecil itu kumasukkan ke dalam
kewanitaannya dan kumainkan bagai lidahku dia mengerang dan memohon
untuk kusetubuhi dengan kelelelakianku.
"Please Yok... setubuhi aku.. ayo.... ah...." tapi aku tidak
melakukannya, justru aku segera melumat kewanitaannya dengan lidahku.
Karena kedua tangannya masih terikat dia tidak bisa memegang kepalaku
untuk dibenamkannya ke kewanitaannya dan dia menggunakan kedua kakinya
untuk menjepit tubuhku. Erangannya makin hebat saat kuhisap cairan di
kewanitaannya, kujulurkan lidahku makin dalam... dan dalam...
"Aaaaaaaaargh!... argh....oh yesssssssssssssssss!" Kuhisap, kulumat
dengan keliaran yang tak terkendali. Persetan dengan yang mendengar
saat kudengar bunyi pintu terbuka. Itu pasti Panca. Benar, mungkin
karena sungkan, dia segera masuk ke kamarnya. Erangan perempuan itu,
semakin keras saat kutanamkan dalam-dalam kelelakianku ke lubang
kewanitaannya.
"Oh yesssssssss!... arghhhhhh!" dia tak bisa bebas meronta, hanya
panggulnya yang diangkatnya tinggi-tinggi untuk dibenamkan semakin
dalam. Saat kubuka matanya dan talinya dia segera mendorongku hingga
aku terjembab dan dicabutnya kewanitannya. Dia lalu jongkok di atas
wajahku dengan posisi terbalik. Lalu dengan liar dihisapnya
kelelakianku. Dikulumnya dalam-dalam, di saat yang bersamaan akupun
bisa memainkan lidahku di kewanitannya.
"Ahh.. uh... ah..." begitu nikmat luar biasa, Kulumannya semakin liar
di kelelakianku sambil sesekali digigit kecil pangkalnya. Kedua bukit
indahnya yang menggantung segera kuremas dan kupilin keras.
"Auw...." Jerit kecilnya saat aku memilin putiknya terlalu keras. Neva
semakin hebat mengulum kelelakianku sambil menggoyangkan kewanitaannya
agar lidahku bisa masuk lebih dalam. Lalu dengan waktu yang bersamaan
kami mencapai sensasi erangan yang memekakkan.
"Aaargh... oh YESSSSSSSSS!" lava yang begitu deras keluar dari
kelelakianku, segera direguknya cairan itu. Oh indah luar biasa...
Tuhan.. aku begitu mencintainya. Dan malam itu kami terus bercinta
hingga pagi menjelang.

Sudah hampir 2 minggu ini Neva tinggal bersamaku. Selama itu pula
erangan-erangan dan lenguhan-lenguhan kami telah menjadi seuatu yang
biasa di kontrakkanku. Setiap hari kami bercinta, terkadang pagi,
siang dan setiap malam. Hampir seluruh sudut rumah ini telah sempat
menjadi 'ranjang' kami (tentunya saat Panca pergi). Panca sudah
terbiasa mendengar teriakan-teriakan kepuasan dari kamarku, bahkan
kami terkadang berciuman dengan seenaknya di depannya. Pancapun hanya
menggerutu, "Huh... jadi kambing congek nih..." Lalu kamipun hanya
tertawa melihat ekspresi sahabatku itu. Lalu dengan sekali pandang
kami segera masuk kamar. Biasanya Neva masih sempat menggoda Panca
dengan kenakalannya.
"Hey... jangan pengin lho Pan?"
"Huh cah edan!" sahabatku itu begitu pengertian sambil tetap bersungut
dia masuk kamar sambil meneruskan gerutuannya:
"Tereaknya jangan kenceng-kenceng!" lalu erangan-erangan hasratpun
kembali menguak di antara keringat-keringat kami. Hari-haripun berlalu
demikian indahnya. Hingga suatu siang, saat aku pulang dari kampus aku
begitu terkejut saat melihatnya berkemas.
"mau ke mana Nev...?"
"Pulang," Jawabnya pendek.
"Mama Papa udah balik?" dia hanya menggeleng.
"Besok Don pulang!"
Pyaaaar! Tiba-tiba kepalaku pening. Ada kemarahan yang tiba-tiba
meyerang. Tidak, aku tidak marah kepadanya, aku hanya marah dengan
situasi ini.
"Tinggallah bersamaku," pintaku. Kurasakan ada nada putus asa di
dalamnya. Perempuan itu menggelengkan kepala.
"Tidak. Don akan marah kalau ke rumah aku nggak ada". Don, lagi-lagi
Don!
Kenapa nama itu tidak hilang dari hatinya. Tidak puaskah dia dengan
cintaku? Keputusasaanku akhirnya terakumulasi dengan kemarahanku.
Kutarik tubuhnya ke pelukanku, kudekap tubuhnya kuat-kuat. Diapun
mengejang dengan pandangan bingung. Tiba-tiba kudengar suaraku
meninggi.
"Tidak! Kau harus tinggal!" melihat perempuan itu tetap menggeleng aku
semakin tak terkendali. Yang ada di kepalaku cuma satu, dia harus jadi
milikku, selamanya! Dan keluarlah kalimatku yang kusesali hingga saat
ini:
"Jadi, kuanggap aku gigolomu. Harusnya kamu bayar aku mahal, Nev!"
Plaak! Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Kulihat kemarahan luar
biasa di matanya. Badannya bergetar dengan hebat. Aku semakin kalap
segera kugumul dan kutindih dia dengan tubuhku. Dia meronta dan akupun
semakin marah. Segera kubuka celanaku dan kupelorotkan celana
pendeknya sekaligus celana dalamnya. Lalu dengan kasar kusetubuhi
perempuan kecintaanku itu dengan ganas. Neva berteriak kesakitan
karena secara alami tubuhnya menolak. Tapi aku tidak peduli dan dengan
sengaja kumasukkan dalam-dalam lava kelelakianku (selama ini aku tidak
pernah memasukkan ke dalam kecuali dengan karet pengaman). Aku ingin
dia hamil. Hanya itu satu-satunya cara untuk memilikinya.
"Oh..jangan..." Teriakannya semakin membulatkan niatku. Setelah
semuanya selesai, baru kusadari ada buliran air mengalir dengan deras
dari kedua mata indahnya. Ya... Tuhan Apa yang telah kuperbuat
terhadap perempuan yang sangat kucintai dalam hidupku ini? Tanpa
berkata sepatahpun dia segera meberei tubuhnya dan sambil membawa
bawaannya dia pergi tanpa menoleh sedikitpun kepadaku. Siang itu di
tengah guyuran hujan yang turun dengan tiba-tiba, menjadi saat
terakhir aku melihatnya. Aku begitu sakit ....
Aku berusaha puluhan kali menemuinya ke rumahnya, tapi hanya
pembantunya yang keluar dan bilang nonanya pergi atau seribu alasan
lainnya. Nev... aku hanya minta maaf. Di hari wisudanyapun ternyata
dia tidak datang. Aku semakin tenggelam dalam rasa bersalahku. Hingga
suatu siang ada suara mengetuk. Nevakah? Begitu kubuka ternyata Don.
Belum sempat aku bertanya sebuah pukulan mendarat di mukaku. Don hanya
berkata lirih sambil melemparkan sepucuk surat, "Goblok! Kamu hampir
memilikinya, tapi kamu sendiri yang merusaknya".
Sambil menahan perih kubaca surat itu. Surat Neva!

"Don-ku sayang...
Maafkan aku. Saat kau baca surat ini aku sudah di Paris, kebetulan om
Jon nawarin aku tinggal di sana. Jadi sekalian aku ambil sekolah film
sekalian. Maafkan aku tak sempat bilang padamu tentang keputusanku
ini. Don, tadinya kamu adalah satu-satunya lelaki yang ingin kuberikan
seluruh hidupku. Aku menjadi sangat terluka saat kamu tidak
menginginkan anak dariku. Meski kamu akhirnya mau menikah denganku....
Tetapi ternyata semuanya menjadi lain saat aku bertemu Iyok (Ah
alangkah senangnya jika ada satu sosok gabungan antar dirimu dan
Iyok). Aku juga menginginkan hidup bersamanya. Dan itu tidak adil
bukan? Aku merasa mengkhianatimu saat bersamanya dan mengkhianatinya
saat bersamamu. Saat kamu pergi ke Kalimantan aku pikir itu saat yang
tepat untuk menguji perasaanku kepadamu dan kepadanya. Hidup
bersamanya begitu rileks aku sungguh menikmatinya. Hampir saja
kuputuskan untuk hidup bersamanya. Tapi ternyata rasa cintanya begitu
'menyesak'kan ruangku. Akupun tidak bisa hidup dengan cara itu.
Don, aku harap kamu mengerti dengan pilihanku ini. Aku mencintaimu
selamanya aku mencintaimu. Jika kamu sempat bertemu Iyok, tolong
katakan bahwa aku hanya menyesal dia tidak bisa merasakan perasaanku
kepadanya... just take care of yourself. Neva."

Aku hanya termangu. Karena itu setiap tahun aku pasti menyempatkan
pergi ke hutan karet itu dengan seribu satu alasan ke istriku....

Solo, 18 Desember 2000


Catatan: Lima tahun yang lalu, Panca pernah melihatnya di bandara
Changi. Neva bersama seorang anak perempuan usianya sekitar lima
tahunan. Mereka sendirian sambil menunggu pesawat ke Paris. Aku begitu
gemetar mendengarnya. Aku tidak berani memikirkan segala
kemungkinan...

SESAAT DALAM PERJALANAN

Sesaat dalam Perjalanan


Semua perlengkapan sudah beres. Semua panitia dan peserta latihan alam pun sudah komplit. Aba-aba berangkat telah diberikan Imam, seniorku. Dia senior paling galak, disiplin, tapi justru senior paling akrab.

Aku membawa tas perlengkapan yang paling berat. Dia sudah memperingatkan, tapi aku ngotot.
"Medannya berat Leli. Terlalu menanjak dan tanahnya berpasir. Biar aku yang bawa."

"Aku bisa. Kenapa sih tidak membiarkanku mencoba? Apakah karena aku perempuan?"
Dia tidak mendebatku lagi. Kami berjalan beriringan. Sampai tanjakan berpasir, aku merasakan tubuhku mulai oleng. Tapi aku berusaha menjaga keseimbangan. Tiba-tiba mata berkunang-kunang dan pening.

Aku tidak bisa menjaga keseimbangan lalu jatuh tertelungkup. Imam menarik lenganku cepat, kalau tidak aku pasti merosot turun. Sekilas kulihat dia memberikan aba-aba untuk meneruskan perjalanan, tapi dia menyuruhku berhenti. Perutku terasa mual.

"Wajahmu masih pucat begitu. Istirahat dulu."
"Aku kuat dan sehat. Ayo, aku ingin sampai lebih dulu ke lokasi." Aku berdiri.

"Oke, aku yang bawa tasnya."
"Aku tadi yang bawa. Ya harus bertanggung jawab." Aku kembali ngotot.

"Apa sih yang ingin kamu tunjukkan dengan menyiksa diri begitu?" Kali ini dia membentakku.
"Kau kira aku tidak kuat? Tadi itu cuma terpeleset, apa salah? Kenapa sih selalu meremehkan kemampuan perempuan? Selalu merasa kuat sendiri."

"Aku tidak pedulu kamu perempuan atau laki-laki. Ini juga bukan soal salah benar. Tapi kemampuanmu saat ini. Besok boleh kau bawa lagi, jangan memaksakan diri."
Kami berjalan lagi. Kali ini dia yang membawa tas itu. Aku jengkel merasa diremehkan, tapi tak bisa membantah.

Sorenya, sepulang dari mengantar peserta dalam pengamatan lokasi, Nana, seorang seniorku, bilang aku merasa kuat tapi keok di tengah jalan. Sesuaikan dengan kemampuan.

Leo, seorang seniorku yang lain, bilang kalau kemampuan perempuan memang segitu, diakui saja. Secara fisik saja perempuan sudah tidak bisa disamakan dengan laki-laki.

Aku membantah dan mendebat mereka. Konvensional sekali pikiran kalian. Ini bukan soal jenis kelamin, tapi kemampuan tubuh masing-masing orang. Kalaupun tadi aku tidak kuat, bukan karena aku perempuan, tapi kondisi tubuhku sebagai manusia saat itu. Setidaknya aku telah mencoba dan akan kucoba lagi.

Aku lihat Imam tersenyum. Gara-gara dia aku jadi diremehkan karena jenis kelamin. Ini diskriminasi namanya.
Malam harinya, aku dan Imam bertugas jaga. Aku memang tidak mau di bagian konsumsi dan obat-obatan. Aku bagian investigasi lapangan dan bertugas jaga malam. Aku diam saja. Kejadian tadi masih membuatku sumpek.

"Kenapa sih setiap hal selalu kamu kaitkan dengan keperempuananmu?" tanyanya, memancingku bicara.
"Semua saudaraku perempuan. Dalam banyak hal yang dianggap pekerjaan laki-laki, selalu menunggu ayah. Ayah merasa jengkel dan menyesali kenapa kelima anaknya perempuan. Aku juga jengkel, ini bukan soal jenis kelamin, tapi perlakuan ayah dan ibu soal perempuan sejak kami kecil itu yang keliru, jangan kami yang disalahkan. Sejak itu kami tidak mau mendengar apa pun soal perbedaan kelamin."

Aku tak tahu kenapa aku bisa sejujur itu padanya. Dia merenung lama lalu mulai bicara.
"Aku punya seorang adik perempuan. Kalau masih hidup mungkin seusiamu. Karena dia satu-satunya perempuan, kami melarangnya melakukan apa pun yang membahayakan. Tapi ternyata dia malah merasa tidak bebas. Suatu ketika dia ngotot mengikuti kegiatan kelompok pecinta alam di sekolahnya."

"Kami melarangnya, dia memaksa betul. Kami izinkan, dengan syarat aku harus ikut dengannya. Tapi ketika aku lengah, dia ikut latihan mendaki bukit terjal yang sebenarnya tidak terlalu tinggi. Karena tidak terbiasa, dia tergelincir. Juran yang dalam menyambut tubuhnya yang lemah, dia tidak selamat. Kami merasa bersalah karena telah memenjarakannya dalam keyakinan kami bagaimana seharusnya perempuan. Mungkin karena itu pula aku merasa selalu ingin bersamamu, menyayangimu, tapi tetap membiarkanmu bebas."

Aku terkesima. Tak disangka pengalaman kami begitu unik untuk mengerti bahwa perempuan adalah manusia yang tidak didiskriminasi karena jenis kelamin. Aku pun sayang padanya. Sebagai laki-laki yang bukan melindungiku dengan larangan, tapi dengan kebersamaan yang membebaskan diriku.
Oleh Avif Nuravivaf
Penulis adalah mahasiswa Univ. Jember

SETANGKAI MELATI PATAH DIBALIK SENJA

Setangkai Melati Patah di Balik Senja -- Ani Sakurano
Dikemas 11/04/2004 oleh Editor 
Kepedihan dan penyesalan telah membelenggu bibir dari tawa dan senyumku. Tak seorangpun mendapatkannya lagi. Aku telah mempersembahkannya hanya untukmu kasih. Tapi kini engkau telah tergolek diam dalam keabadian. Biarlah kulukis setangkai melati patah di balik senja pada nisanmu, agar engkau selalu ingat selarik senja yang telah mempertemukan kita, senja itu pula yang mematahkan tangkaimu.



Palgunadi termenung di teras belakang rumahnya. Ini adalah untuk kesekian dia membaca cerpen dengan judul frase "senja", seperti yang barusan dia baca "Setangkai Melati Senja untuk Kasihku" [1] di sebuah harian ibu kota. Selalu judul dengan senja itulah yang dipilih oleh Melati si penulis cerpen. Palgunadi hampir hafal seluruh judul cerpen-cerpennya mulai dari menjaring senja di puncak monas, senja di atas danau Biwa, senja di ujung penantian, senja di dua kota, dan senja-senja lainnya.

Rasanya Palgunadi tidak akan sedemikian penasaran kalau cerita yang didongengkan tidak sedemikian memikatkannya, bahkan dari kisah yang terus diikutinya dia mempunyai keyakinan Melati adalah seorang gadis yang merindukan kehadiran sosok seorang laki-laki pujaan. Dan laki-laki itu adalah dia, pikir Palgunadi. Sah-sah saja Palgunadi beranggapan seperti itu, karena dia memang tercipta sebagai pria ganteng yang sudah melanglang buana sebagai lelananging jagad [2]. Sayang, Palgunadi belum pernah mendengar ada acara bedah buku atau pemberian hadiah atas karya sastra Melati, atau setidaknya ada kabar kehadirannya dalam diskusi kebudayaan.

Ketika Palgunadi mendengar berita bahwa cerpen-cerpen Melati telah diterbitkan dalam sebuah buku, bergegas dia membeli buku itu, berharap ada sedikit keterangan mengenai Melati. Namun sia-sia, ketika dibuka lembar-lembar terakhir buku tersebut, data yang ada tak kalah misteriusnya. Nama: Melati; Tempat tanggal lahir: Bandung, suatu ketika. Cukup dua keterangan yang tidak memberikan makna apapun itulah yang didapatkan Palgunadi, setelah itu dibawahnya cuma tertulis karya-karya yang pernah dihasilkannya. Dan foto yang tertempel disana bukan foto seorang gadis yang sedang beraksi menebar senyum tetapi mekar bunga melati putih dibalik tabir semburat jingga warna senja.

Melati memang sosok yang sedemikian misteriusnya, bahan redaktur harian pagi maupun sore, tabloid, majalah serta jurnal kebudayaan tidak bisa memberikan keterangan apapun tentang sosok Melati. Fotokopi identitas diri yang ditunjukkan setiap media selau berbeda-beda, tak satupun bernama melati.

"Redaksi hanya mencantumkan nama yang dikehendaki oleh pengarang dan setiap penulis yang telah menunjukkan identitasnya berhak ditampilkan karyanya," begitu selalu komentar redaktur yang didatangi menanggapi keluhan Palgunadi mengenai banyaknya identitas diri Melati.

"Tapi ini nama samarannya sama dan judulnya selalu memakai frase yang sama yaitu senja. Pasti penulisnya sama. Kenapa satu orang bisa menggunakan banyak identitas?"

"Apa anehnya?," sergah seorang redaktur sebuah harian senja di suatu kota pada suatu senja yang sedemikian merah membara.

"Bisa saja penulisnya memang orang yang berbeda," lanjut redaktur tadi sambil menyedot batang rokok kuat-kuat.

"Ah tidak mungkin. Aku sangat hapal akan gaya penulisannya. Dia sangat mengagumi senja."

"Ha..ha..ha...senja selalu datang tiap hari, menggantikan siang yang panasnya membakar kota, setiap sore aku dan semua orang melek selalu melihat senja yang selalu sama dari hari ke hari, apalah anehnya."

"Aku adalah pengagumnya yang ingin menemui, biarlah aku mendengarkan sendiri dia mendongengkan tentang senja terindah untukku. Aku sudah beberapa kali ke berbagai kantor redaksi harian, tapi selalu gagal mendapatkan identitas persis siapa Melati sebenarnya, apakah fotokopi KTP yang anda tunjukkan ini benar-benar nama asli si penulis cerpen itu?"

"Apalah artinya sebuah nama, mau namanya Melati, Mawar atau kembang tembelekan, kalau orangnya itu ya tetep seperti itu aja," jawab sekenanya, sok mengutip kata-kata Shakespeare segala lagi pikir Palgunadi.

"Beribu bahkan mungkin berjuta orang membaca cerpen itu tapi tak satu pun yang keheranan, kenapa anda begitu antusias?"

"Aku ingin mengawini Melati!" jawab Palgunadi tak kalah ngawurnya sembari berkelebat pergi dengan hati gondok.

"Di kebun bunga banyak, bung! Ha...ha...ha...."

Palgunadi bukannya tidak pernah mencoba untuk mendatangi alamat-alamat yang tertera pada kartu identitas yang ditunjukkan oleh redaktur suatu harian, tapi selalu alamat yang didatanginya mengatakan hanya sebagai perantara yang mendapat kiriman naskah dari rekannya yang mengamanatkan agar dikirim ke redaksi harian tertentu. Alamat yang disebutkan oleh orang yang mendapatkan wasiat juga mengatakan hal yang sama. Jadi semacam surat berantai yang bisa dikirim dari mana saja oleh siapa saja, seperti pasar multilevel yang menyebar dari mulut ke mulut.

Palgunadi tidak kehabisan akal, meskipun alamatnya bisa di mana-mana, pasti honor yang diperoleh dikirimkan ke satu nomor rekening, pikirnya. Dicoba ditelusuri kembali alamat semula dan ditanyakan nomor-nomor rekeningnya, tak diduga ternyata honor yang didapat juga harus ditransfer lagi ke rekening-rekening lain secara berantai melingkar-lingkar tak ketahuan ujungnya. Mungkinkah orang sebanyak itu semua mau melaksanakan amanat Melati, apakah tidak ada seorang pun yang menyabot honornya? Minimal mengkorupsinya? Masih adakah orang yang bisa sedemikian bisa dipercaya. Atau barangkali Melati memang tidak memerlukan uang, pikir Palgunadi di setiap perjalanan pencariannya.

Entah energi apa yang menyebabkan Palgunadi tidak kenal jera dan putus harapan. Mungkin Palgunadi berpikir bahwa untuk mendapatkan sesuatu yang dikehendaki perlu sebuah perjuangan, apalagi untuk mendapatkan Melati yang diyakini sanggup memberikan kebahagiaan baginya. Perjuangan yang berlawanan sekali dengan kenyataan yang ada dalam kehidupan Palgunadi yang selalu dikerumuni dan dikejar-kejar oleh perempuan-perempuan cantik yang selalu mengantri cintanya meskipun mereka tahu akhirnya bakalan ditinggalkan Palgunadi juga.

Terus disusuri alamat demi alamat, bank demi bank, kota demi kota, negara demi negara, benua demi benua, dari waktu ke waktu dari senja ke senja. Hari berganti, waktu berlalu, tahun demi tahun telah dihabiskan Palgunadi dari taksi ke taksi, bus ke bus, kereta ke kereta, kapal ke kapal, pesawat ke pesawat. Tak ada senja yang tak terekam dibenak, tak seorang pun terlewatkan untuk dimintai keterangan kalau-kalau mereka pernah berjumpa dengan Melati.

Senja membara di atas Monas, senja yang mengapung di danau Biwa, senja di balik tugu, senja yang berkilauan di laut Mediterania, sampai senja yang menyepuh Rocky Mountain. Tapi hasilnya nihil, tak seorang pun mengaku mengenal Melati atau setidaknya memberi keterangan pernah berjumpa dengan seorang gadis dari Indonesia yang sedang menunggu kekasihnya di suatu senja. Melati bagaikan tumbuh di Gurun Sahara tanpa batang tanpa daun.

Tak terasa uban telah menjamur di kepala Palgunadi, kulit pun tampak berkeriput. Sudah 365 kali 40 senja dihabiskan hanya untuk mencari Melati. Entah hubungan batin macam apa yang sanggup membuat seseorang merasa terpaut dari hanya dari tulisan orang lain. Adakah gelombang magnetik menghubungkan ikatan sedemikian kuatnya? Tak ada seorang pun yang tahu, hanya Palgunadi yang bisa merasakannya.

Sampai suatu ketika Palgunadi mendapati sebuah fotokopi KTP lusuh dari seorang redaktur harian yang tak terkenal di ibu kota. Tertera nama Melati di KTP itu. Binar mata Palgunadi seolah mengalahkan semburat keemasan di langit barat. Berkali-kali dibuka kacamata, dilap sambil mengucak-ucak matanya, tetap saja nama Melati yang tertera di situ. Bergegas dengan tak lupa mengucapkan terimaksih berkali-kali Palgunadi menyetop taksi yang melintas. Langsung ditunjukkan pada sopir, fotokopi KTP yang dipegangnya sembari memerintahkan agar memacu taksi ke alamat yang tertera secepatnya.

Taksi bergerak menembus debu senja yang memadati udara Jakarta. Senja yang kilauannya dari pantulan kaca-kaca gedung yang menjulang mampu membuncahkan perasaan Palgunadi, jantung Palgunadi pun berdegup kencang seperti masa remaja saat pertama kali dia mengucapkan kata cinta pada gadis pujaannya dalam sebuah taman di suatu senja yang bisu setangkai melati disematkan di atas telinganya. Melati sebagai ungkapan putihnya cintaku kata Palgunadi.

Cinta itu juga yang mulai dibisikkan ke telinga gadis dan wanita yang mengaguminya, ketika nama Palgunadi sebagai jurnalis sedang meroket bak meteor. Cinta yang ketika mulai rimbun tumbuh di hati Palgunadi tiba-tiba dihempas oleh badai taifun saat gadis pujaannya harus menemui takdirnya. Cinta yang hadir seperti senja temaram yang tiba-tiba disergap mendung malam yang gulita.

Pada suatu senja yang paling durjana ketika Palgunadi memergoki mereka sedang memadu kasih. Kilatan belati pun menembus punggung kekasihnya. Ingin sekali Palgunadi mengadu nyawa dengan laki-laki yang merobek cinta dan hidupnya, tapi siapa sangka laki-laki itu adalah laki-laki yang paling dihormatinya. Laki-laki yang memberikan cinta sekaligus yang mencabutnya. Pandu, bapaknya.

Pedih dan penyesalan yang menyayat hati makin menggerogoti ingatan Palgunadi karena dia harus kehilangan kedua orang yang dicintainya. Pandu lebih memilih mengakhiri hidupnya serta si gadis yang tenggelam di taman kamboja.

Kepedihan dan penyesalan telah membelenggu bibir dari tawa dan senyum Palgunadi saat itu. Tak seorang pun mendapatkannya lagi, Palgunadi telah mempersembahkannya hanya untuk kekasihnya yang kini telah tergolek dalam keabadian. Kekasih yang mengalirkan cinta sekaligus melongsorkannya. Kekasih yang dicintai sekaligus dikhianati. Adakah cinta tanpa pengkhianatan?

"Biarlah kulukis setangkai melati patah di balik senja di atas nisanmu, agar engkau selalu ingat selarik senja yang telah mempertemukan kita, senja itu pula yang telah mematahkanmu," kata Palgunadi ketika mengunjungi makam kekasihnya.

Taksi terus berlari menyusuri gedung-gedung pencakar langit Jakarta yang memantulkan warna kelabu, melaju di atas tol, memasuki jalan-jalan protokol, gang-gang sempit dan berhenti tepat di depan alamat yang dituju: rumah Palgunadi.

Oktober, 2000

Keterangan:

[1] Dari cerpen Seno Gumira Ajidarma yang berjudul "Sepotong Senja untuk Pacarku".
[2] Dalam cerita pewayangan Arjuna mendapatkan gelar lelananging jagad dan berhak mendapat 40 bidadari dari Dewa karena jasanya membunuh raksasa Niwitakawaca yang hendak makar pada Dewa.

TAK PERLU KATA - KATA

Tak Perlu Kata-kata, Oleh: Donatus A. Nugroho & Irene Santika Vidiadari

MINGGU ujian telah berakhir. Hari ini, ujian Fisika adalah ujian penutup bagi kelas IPA 3. Segala rencana penghilang stres sudah dipersiapkan, tak terkecuali aku dan teman-teman genk-ku. Aku, Asti, Maya, dan Keyla sudah menanti-nanti hari ini sejak seminggu yang lalu. Kami sudah berencana untuk pergi ke mal setelah pulang sekolah dan pergi menginap di rumah Keyla, menemaninya yang sendirian ditinggal orang tuanya ke luar kota. Aku sendiri sudah mendapat SIM alias Surat Ijin Mami untuk semua itu.

Pulang sekolah adalah saat yang kami tunggu-tunggu sejak tadi. Kami ke mal penuh suka cita. Sesampainya di mal, pertama-tama kami pergi ke toko pakaian untuk menemani Maya yang hobinya shopping, kemudian ke toko kosmetik menemani Keyla yang suka berdandan, lalu ke toko olahraga dan terakhir ke toko buku. Setelah selesai dengan belanjaan masing-masing, kami pergi menuju food court untuk makan siang. Maklum perut kami sudah menyanyikan lagu keroncong. Belum sampai tujuan, ada sesuatu yang menyangkut di tali tasku. Tanpa menoleh aku segera menyadari ada seorang cowok menahan langkahku. Ia langsung melepas gelang yang melilit di tali tasku. Dia menoleh dan berkata, "Maaf, gelang saya nyangkut di tas kamu." Setelah gelang itu terlepas dari tasku, dia mengangkat wajahnya.

"Cowok kok miara gelang!" Ejekan yang sudah di ambang mulutku tertelan kembali demi melihat tampang cowok itu. Seketika rasa laparku hilang karena tersengat setrum kagum yang segera merambat di seluruh pelosok hati. Dia berdiri, dan baru kusadari, tingginya sekitar sepuluh senti di atasku. Pasti mahasiswa, tebakku. Dengan keberanian yang sedikit kupaksakan, akhirnya aku berujar, "Lain kali hati-hati dong.…" Menggantikan tanya, "Siapa namamu?"

Cowok itu tersenyum santun.

"Aku membeli gelang ini untuk seseorang. Namaku Rendi. Kamu?" Kuharap dia tidak sungguh-sungguh bisa membaca isi hatiku. Tapi aku benar-benar bersyukur dalam hati.

"Rene," ujarku pendek, tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Aku menoleh ke arah tiga temanku yang mulai ribut saling sikut. Sebuah isyarat agar aku "menyodorkan" mereka kepada kenalan baruku itu.

"Oh ya, Rendi, ini teman-temanku," kataku sambil mengenalkan Asti, Keyla dan Maya.

Rendi mendadak bersuit agak keras. Dalam sekejap mata ia didatangi tiga cowok keren-keren. Ia pun segera memperkenalkan tiga temannya. Mereka adalah Ray, Nico, dan Doni. Karena Rendi dan teman-temannya juga hendak makan di tempat yang sama, kami pun mencari meja yang cukup besar agar bisa semeja. Sambil makan, aku dan Rendi memperkenalkan diri masing-masing. Dalam hati aku juga sempat merasa aneh dengan sikap Keyla, Asti, dan Maya. Mereka diam, menghabiskan makanannya sambil mendengarkan "siaran radio" antara aku dan Rendi. Begitu juga Ray, Doni, dan Nico. Mereka berbisik-bisik seperti rapat darurat sambil sesekali memandang teman-temanku lalu tersenyum

"Rene, temenin aku ke toilet dong. Sebentaaar aja," kata Keyla sebelum piringnya bersih.

"Ada apa sih, La?" tanyaku tak sabar, setelah kami sampai di toilet.

"Rene, ajak Rendi pergi dong, sebentar aja. Liat buku atau apa terserah…" katanya dengan mimik dibuat memelas.

"Memangnya ada apa sih, La?" kataku dengan bingungnya.

"Ren…, aku, Asti, dan Maya mau menjalankan misi pedekate sama tiga cowok yang keren-keren itu."

O ooo, begitu rupanya. Aku baru mengerti.

Sekeluarnya dari toilet, aku dengan halus mengajak Rendi ke toko kaset. Di eskalator, kuceritakan tujuanku mengajak Rendi pergi dari kafè. Di atas esklator Rendi tertawa.

"Ha ha ha, aku yakin ketiga temanku itu juga langsung naksir teman-temanmu. Tadi, sebenarnya mereka memintaku untuk mengajakmu pergi agar mereka bisa pedekate, eh tahunya kamu mengajak pergi duluan. Klop deh. Tapi nggak kebayang, siapa memilih siapa. Pasti seru, ya?" katanya panjang lebar.

Karena sudah cukup sore, akhirnya kami pun berpisah. Rendi dan aku saling bertukar nomor ponsel. Di dalam taksi, Asti, Maya, dan Keyla saling bergantian "siaran", sedangkan aku hanya mendengarkan sambil tersenyum-senyum dengan hati yang dilanda asmara.

DI rumah Keyla, "siaran radio" terus berlanjut. Mereka masih menceritakan pujaan hati masing-masing. Keyla menceritakan Doni yang berbaik hati mau membawakan belanjaannya, Asti menceritakan Ray yang selalu tersenyum apabila berbicara dengannya, juga Maya yang bercerita tentang Nico yang senantiasa ikut berkomentar tentang baju yang dipilihnya. Aku masih takjub. Bagaimana tiga pasangan begitu cepat tercipta? Tanpa rebutan, tanpa persaingan, tanpa…

"Rene, gimana kamu dengan Rendi?" kata Maya yang baru sadar bahwa sedari tadi aku hanya terdiam mendengarkan mereka.

"Apanya yang bagaimana?" Aku balik bertanya.

"Ah, kamu ini seperti kambing congek aja. Itu lho, tadi kamu kan sempet jalan sama Rendi. Gimana kelanjutannya?" katanya dengan nada sedikit kesal karena dianggapnya aku telmi.

"O, itu…. Nggak ada yang spesial sih, dia sepertinya hanya akan menjadi teman biasa. Kami ngobrol sambil milih-milih kaset. Dia demen musik. Maniak! Doi kemarin nonton Limpbizkit di Singapore. Keren, kan?" "Wow! Jadi, kamu dan dia nggak ada GGC alias getar-getar cinta nih?!" Asti berkata penuh mimik keheranan.

"Mmm, kalau aku sih… ada. Dikit. Tapi nggak tahulah kalo si Rendi," jawabku singkat.

TIDAK terasa kini sudah hampir setengah tahun usia pertemanan kami. Maksudku, aku dan Rendi. Kami sering janjian untuk melewati malam minggu bersama, atau pergi membeli kaset bersama. Diary-ku juga makin banyak terisi nama Rendi, setelah hampir setahunan kosong dengan nama cowok.

Sampai pada suatu hari Rendi mengirim SMS yang isinya: Hai Rene, aku kasian deh sama si Ray, dia nggak berani nembak si Asti, gimana kalau kita ikut nge-comblangin mereka di malam Valentine nanti? Tapi, jangan beri tahu temanmu yang lain ya…

Kontan saja aku setuju karena aku tahu betul bahwa Asti setali tiga uang denganku, paling gengsi kalau nembak cowok. Ia adalah tipe cewek tradisional yang menabukan cewek lebih agresif. Dan aku?

Aku gemas bukan main. Geregetan. Kau tahu kenapa? Aku sendiri sebenarnya tengah menunggu! Atau benarkah dugaanku bahwa rasa yang kupendam hanya akan bertepuk sebelah tangan selamanya?

Malam berikutnya, ada SMS lagi dari Rendi, dia juga mengajaku nge-comblangin Maya dan Nico, lalu juga Doni dan Keyla. Aku sangat setuju karena ini akan menjadi sejarah bagi kami karena mereka bertiga ditembak di hari yang sama, yaitu di hari Valentine, di mana hari itu dunia akan dilanda kasih sayang.

MALAM Valentine yang amat kutunggu-tunggu. Dan strategi sudah dijalankan. Kami berenam datang ke Taman Kota, dan dengan taktik yang cukup pelik, mereka, atas inisiatif Rendi juga, berhasil kupencar berpasang-pasang. Ray sama Asti, Nico sama Maya, dan Doni sama Keyla. Saat jam enam sore, aku berusaha agar Ray punya waktu untuk nembak Asti. Dari balik pohon yang cukup besar, aku dan Rendi mengintip detik-detik bersejarah bagi mereka berdua sambil sesekali menahan tawa. Seperti seorang ahli sulap, Ray mengeluarkan sekumtum mawar merah dari saku bajunya dan menyerahkannya pada Asti. Dan seperti yang kuduga, Asti menerimanya dengan suka cita.

Lalu, setengah jam kemudian Maya dan Nico datang menghampiri kami sebagai pasangan yang sudah bergandengan tangan dengan mesra. Maya dan Nico akhirnya jadian.

Hal yang sama juga terjadi pada pasangan Keyla dan Doni. Tak perlu kuceritakan detilnya. Pokoknya pakai acara sun pipi di balik patung kuda segala. Seru!

Setelah mereka jadian, kami pergi menghadiri acara malam Valentine di Sporty Cafe yang sudah disulap menjadi arena pesta. Masih disarati pernak-pernik serba olahraga, tapi malam itu Sporty Cafe ditingkahi nuansa serba pink. Panggung untuk puncak acara digelari karpet warna merah jambu yang menimbulkan suasana amat romantis.

Kami tak pernah menduga sebelumnya bahwa malam itu ada acara penobatan pasangan paling romantis. Dan tebakanku, Keyla dan Doni punya kans amat besar untuk memenangkan hadiah. Mereka amat serasi, sama-sama keren. Yang satu jelita, yang satunya menawan.

Saat sudah hampir di puncak acara, Rendi menggaetku ke sudut yang relatif sepi. Aku berdebar tak karuan. Ketiga sahabatku sudah. Akankah kini tiba giliranku? Di sinikah sejarah kisah cintaku akan terukir indah?

"Rene, ada yang ingin kuutarakan padamu…"

Udara AC yang dingin terasa makin dingin. Terus terang aku gemetaran.

"Tak perlu kamu ucapin, Ren… aku… aku…"

"Tapi aku harus bicara, Rene…" Ucapan Rendi terpotong. Seorang cewek cantik dan lincah menghampiri kami yang nyaris tersembunyi di sudut.

"Kalian dapat!" seru cewek berseragam itu.

"Apaan?" tanyaku tolol.

"Kalianlah pasangan paling serasi malam ini!"

Aku dan Rendi saling pandang dengan mulut terbuka. Kami saling meneliti diri kami masing-masing. Lalu kembali saling memandang dengan heran. Ternyata aku dan Rendi mengenakan pakaian yang nyaris kembar. Setidaknya pilihan warnanya. Bukan pink, melainkan kuning. Rendi mengenakan kaus turtle neck yang amat mirip dengan yang kukenakan. Sama-sama berwarna kuning. Ia mengenakan celana jins putih bersih, sedangkan aku memadukan baju hangatku dengan overall yang berwarna putih pula. Kemiripan yang sama sekali tidak kami sengaja.

Kami saling pandang dan kemudian sama-sama merasa agak malu ketika menyadari seluruh pandangan yang ada di ruangan itu terarah pada kami. Di sudut lain kulihat ketiga pasangan baru itu bertepuk tangan dan bersuit-suit jahil. Doni dan Keyla, yang kami jagokan, bertepuk tangan lebih lama dari yang lain.

Cewek cantik MC Sporty Cafe itu mendorong kami agar naik ke panggung mini di tengah ruangan. Seorang MC cowok menodongkan mik dan melancarkan sederet pertanyaan kocak yang terpaksa kami jawab malu-malu.

"Kapan jadian?"

"Udah lama," jawabku.

"Setengah tahunan, deh," Rendi menambahi, membuat hatiku makin berbunga-bunga.

Kau tahu adegan berikutnya?

Rendi dipaksa untuk mencium pipiku. Di depan hidung puluhan pasangan yang memadati kafe! Bayangkan!

Lalu setelah itu apa? Happy ending? Tunggu, dulu! Dengarkan kisahku kemudian.

Rendi kembali membawaku ke sudut semula, setelah kami menerima bingkisan mungil dari panitia. Aku tak peduli dengan apa isi bingkisan itu. Aku terlanjur bahagia dan tak ingin melepaskan genggaman tangan Rendi yang hangat.

"Kau senang?" tanya Rendi.

"Teramat sangat," jawabku jujur. Rendi terlihat gelisah, membuatku iba. Apakah kata-kata amat berarti baginya? Bagiku semua yang terjadi malam ini sudah cukup.

"Tentang ucapanku yang tadi terpotong…"

"Apa lagi, Ren?"

"Kamu percaya bahwa cowok dan cewek bisa dekat sebagai sahabat aja?"

Aku tersentak. Mendadak aku merasa amat ketakutan.

"Maksudmu?"

"Ada seorang gadis yang setia menungguku. Ia sekarang tengah menyelesaikan kuliah musiknya di Yogyakarta.… Bisakah kita tetap bersahabat seperti sekarang?"

"Ya. Siapa nama gadis itu?" tanyaku dengan hati pilu.

" Yuke," jawabnya pendek dan pelan.

VALENTINE'S Day telah berlalu dan aku masih seperti dulu.

Ketiga sahabatku masih selalu menemaniku. Kami jalan-jalan dan suka-suka berempat, atau terkadang terpaksa bertujuh dengan Nico, Doni dan Ray. Tapi aku selalu menolak jika harus berdelapan dengan Rendi.

Rendi memang masih sering menelpon atau berkirim SMS, sekedar say hello atau menanyakan kabar. Tapi lebih dari itu tidak. Aku sendiri sungguh tak ingin. Rasanya terlalu sulit bagiku untuk tetap bisa bersahabat dengan seseorang yang aku cintai, sementara hatinya terlanjur diserahkan kepada orang lain.

Namun kusadari, hidup memang begitu. Kenyataan tak selalu sama dengan harapan.



(AnekaYess: Edisi ke-3 Tahun 2004, 31 Januari - 13 Februari 2004)

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites