Jejak Sejarah Soeharto
Azyumardi Azra
Hampir tidak ragu lagi, sosok dan kiprah presiden kedua RI, Soeharto, adalah kontroversial. Diskusi dan perdebatan tentang apakah ia meninggalkan warisan besar positif atau negatif bagi perjalanan historis negara-bangsa Namun, satu hal sudah jelas, perjalanan kekuasaannya yang panjang selama 32 tahun meninggalkan jejak-jejak yang sulit terhapuskan begitu saja dari sejarah negeri ini.
Tidak banyak buku tentang Soeharto. Karena itu, karya Retnowati Abdulgani-Knapp, Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia’s Second President (
Inilah buku yang menyajikan pasang surut kehidupan Soeharto dalam masa Reformasi. Tetapi, menurut Retnowati, di hari-hari tuanya setelah tidak berkuasa lagi dan menderita berbagai penyakit, Soeharto telah pasrah dan menerima kejatuhannya yang tragis dengan sabar dan bermartabat.
Dalam perspektif perbandingan, misalnya dengan karya RE Elson, Suharto: A Political Biography (Cambridge: 2001), The Legacy memiliki kekuatan sendiri, yaitu kedekatan langsung Retnowati dengan sumber tangan pertama, yang tidak ditemukan dalam karya-karya lain, kecuali G Dwipayana dan Ramadhan KH, Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (Otobiografi), (Jakarta: 1989). Karena itu, The Legacy merupakan biografi yang mendapat otoritas (an authorised biography) Soeharto sendiri.
Kabinet profesional
Warisan Soeharto terlihat menyeruak saat demokrasi hingga kini masih penuh eforia dan ekses. Saat kehidupan publik dan masyarakat tak sesuai dengan harapan yang melambung di tengah momentum demokrasi pasca- Soeharto; saat keamanan pribadi dan lingkungan kian tidak terjamin; saat harga BBM terus naik; saat tarif utilities dari listrik, gas dan air terus meningkat; dan saat harga beras dan makanan pokok lain terus melambung dan sulit didapat, ketika itulah kalangan masyarakat banyak yang bergulat dengan kelangsungan hidup "merindukan" pemerintahan Soeharto. Tetapi, "kerinduan" itu melanggar logika sejarah dan sunnatullah; sejarah tidak pernah berulang meski orang Prancis bilang l’histoire se repete
Warisan Soeharto jelas multidimensi. Retnowati dan Elson sepakat, peran Soeharto amat menonjol dalam modernisasi negara-bangsa Indonesia. Retnowati menyebut peran Soeharto sebagai building the nation melalui transformasi ekonomi dan industrialisasi. Senada, Elson menyatakan, warisan Soeharto yang terus mengikat Indonesia kini dan masa depan adalah pertumbuhan ekonomi luar biasa, yang membawa Indonesia dari "negara yang stagnan dan miskin ke alam dunia modern".
Tanpa bermaksud melemahkan usaha antikorupsi yang kini gencar, pernyataan Elson perlu disimak, "Apa pun kerusakan yang disebabkan korupsi (pada masa Soeharto), sebagian besar pertumbuhan ekonomi itu disalurkan ke dalam investasi produktif, elaborasi infrastruktur fisik dan komunikasi, keluarga berencana, pertanian, dan industri". Lebih tajam, Elson menulis, "So great was his achievement that the damage caused by the 1997-98 financial meltdown—itself ascribed by Suharto to Indonesia’s dearth of appropriate systems and ’talented men’ to handle the rapid economic growth of the late 1980s and early 1990s—made little impact on his overall record" (Elson: 307).
Pelajaran apa yang bisa diambil dari keberhasilan Soeharto bagi kepentingan pemerintahan sekarang? Salah satu pelajaran adalah Presiden Soeharto mengangkat para menteri—khususnya dalam bidang ekonomi—yang sebagian besar ahli dan profesional. Presiden Soeharto dalam hampir seluruh masa pemerintahannya— kecuali Kabinet terakhir pascaPemilu 1997—adalah para teknokrat, yang muncul bukan sebagai hasil dari akomodasi dan kompromi politik.
Pencapaian Soeharto jelas terkait kekuasaannya yang "otoriter". Meski ia menerapkan "Demokrasi Pancasila", jelas kekuasaan terpusat pada sang Presiden. Presiden Soeharto agaknya tidak peduli dengan dilema atau pilihan antara apakah memberikan demokrasi, atau sebaliknya lebih memprioritaskan modernisasi dan industrialisasi dengan menerapkan otoritarianisme. Presiden Soeharto mengambil pilihan kedua dan membuka keran "demokrasi" secara terbatas.
Namun, secara retrospek, otoritarisme dan totalitarianisme Soeharto agaknya bersumber dari obsesinya membangun
Depolitisasi juga memaksa organisasi sosial kemasyarakatan melakukan reorientasi menjadi "gerakan kultural" daripada gerakan politik. Reorientasi ini mendorong kemunculan berbagai institusi baru dalam kehidupan sosial, budaya, pendidikan, agama dan lain-lain. Realitas ini berbeda diametral dengan suasana masa reformasi yang memperlihatkan orientasi politik yang amat kuat dan politisasi berkepanjangan berbagai kelompok dan organisasi masyarakat, tidak terbatas pada parpol-parpol.
Obsesi Presiden Soeharto pada kesatuan dan persatuan negara-bangsa Indonesia itu pula yang membuatnya melakukan program Penataran Pancasila (P4) bagi hampir seluruh masyarakat, yang kemudian diikuti kebijakan penerapan Pancasila sebagai asas tunggal sejak akhir 1980-an.
Secara retrospektif, indoktrinasi Pancasila terbukti merupakan kebijakan kontraproduktif, yang membuat Pancasila sebagai dasar negara mendapat nama jelek sehingga para pejabat tinggi pada masa reformasi enggan menyebut Pancasila dalam wacana publik. Kini, di tengah ancaman disintegrasi yang masih berlanjut; di tengah bangkitnya semangat provinsialisme dan etnis; di tengah maraknya politik sektarian, mulai bangkit kembali kesadaran pada kalangan terbatas tentang perlunya rejuvenasi dan revitalisasi Pancasila.
Kombinasi keahlian politik
Retnowati benar. Setiap pengganti Soeharto dalam kursi kepresidenan selalu berjanji melakukan reformasi dan perubahan, memberantas korupsi, dan membangun kembali ekonomi. Tetapi, kenyataan pahit adalah
Memang ada sejumlah kemajuan dalam masa pasca-Soeharto, tetapi masih sangat banyak yang harus dilakukan untuk mengembalikan
Azyumardi Azra Guru Besar Sejarah; Direktur Sekolah Pascasarjana UIN
0 komentar:
Posting Komentar