English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Pages

Selasa, 04 Oktober 2011

DENDANG SUNYI

Dendang Sunyi

Cerpen Raudal Tanjung Banua
BAGI kami, orang-orang kampung Talang, Nagari Kaliki, Wilayah Kumpulan, kepergian adalah hal biasa untuk didendangkan, cukup santun bila dijadikan buah pantun, termasuk digunjingkan. Kepergian, mungkin berwujud perantauan dengan waktu tak berwatas, sekadar pergi dan datang lagi, atau bahkan kematian, tidak kami pandang sebagai urusan yang gawat. Sungguh, itu semua hal biasa, sebagaimana biasanya air hilir ke muara, hulu gabak menyimpan hujan. Dan karenanya pula, kami bisa mengenangnya dalam bait-bait pantun, irama merdu, di lepau kopi, di tepian, di dangau ladang, pun di tepi pintu, tanpa harus bersedih. Sebab apa yang diisyaratkan kepergian adalah kebenaran alam, bahkan jika kampung kami tak ada, kepergian harus tetap ada! 1)
Tapi sekarang wujud dan makna kepergian di kampung kami tidak lagi murni, melainkan penuh sangsi, tersaput halimun. Bukan semata karena nasib mereka yang pergi betapa malang, tapi lebih: di kampung kami, kepergian, bukan lagi upacara yang biasa, tapi telah menjadi dendang sunyi...
Kau pasti menduga, betapa cengengnya kami ini! Sebab bukankah kepergian telah menjadi kelaziman di kampung kami, sebagai tradisi warisan lampau, bernama rantau? Ya, merantau adalah upacara biasa bagi kami, kau benar. "Karatau madang di hulu, kata orang, berbunga berbuah belum, kau paham; ke rantau badan dahulu, di kampung berguna belum." Maka, memang tak perlu sedu-sedan itu 2), sekalipun untuk kepergian yang kekal! Kalaupun ada satu-dua dendang sedih, pantun-pantun sangsai peruntungan, itu hanyalah sekadar penyamar hati yang sesungguhnya riang dan terbiasa pada kepergian, pada perpisahan. Karena, bukankah alurnya mudah diduga? Kau pasti ingat pepatah si burung bangau, atau kalau tidak, tamsil dunia sebagai rantau...
Tapi tunggu dulu! Ternyata tidak setiap kepergian adalah rantau. Sedang kau tahu, kepergian yang telanjur enggan berkabar pun dianggap rantau yang tak lazim. Apalagi kepergian yang tidak terniatkan? Diri terenggut seperti jubah terseret arus tengah malam. Diam-diam. Tak ada kata pamit. Tak ada jerit. Hanya ada kata putus: si Anu lenyap! Maka, menganggap kepergian sebagai hantu lebih mungkin. Sebab begitulah dulu, kampung kami bagai disergap hantu kelabu berjubah perantauan, sehingga yang pergi sebenarnya tak layak disebut merantau. Bahkan, jika kepergian dihubungkan dengan maut yang menjemput, kami pun sangsi sebab tak kami temukan jasad kasar mereka yang pergi, untuk diupacarai.
Duh, di mana hati tak 'kan risau? Dengarlah! Empat laki-laki pergi, tapi bukan merantau, bukan merantau, bukan pula mati; kau tahu? Leman. Bualis. Kincau. Rambun. Empat nama, satu hakikat: kepergian yang melebihi hening batu yang jatuh ke dasar lubuk. Batu yang jatuh setidaknya masih meninggalkan kecipak-riak dan permukaan air membuka-mengambang. Ini tidak. Mereka tak berjejak.
Leman, Bualis, Kincau, Rambun, benar-benar lenyap dalam senyap. Sesuatu yang tak ada dalam kamus tradisi kami, akan tetapi apa lagikah istilah yang tepat? Tak ada. Seperti tak adanya kabar dan laporan. Hanya kasak-kusuk yang tertinggal: ia diambil orang. Tengah malam.
Sebenarnya, kami bisa berdendang lebih lantang, tak bakal sunyi, seandainya deretan tetua adat di kampung kami bersungguh hati memikirkan mereka yang hilang. Tapi tidak. Para tetua lebih tampak berpetenggang daripada bertindak. Bahkan Tumenggung Rayo, kepala adat tempat kami bergantung dengan segala harap, tak bisa berbuat apa-apa. Ia, sebagaimana biasa, hanya bisa meyakinkan kami bahwa semuanya kehendak alam. Haraplah bersabar. Mungkin empat orang itu tersesat saat senja-senja pulang mencari damar dan rotan, tergelincir di tepian atau diinginkan orang bunian -makhluk halus penghuni hutan. Padahal, sejumlah saksi, termasuk anak istri, mengatakan, bahwa malam saat mereka hilang, ada sejumlah orang tak dikenal mengetuk pintu atau menunggu di ujung jalan. Tak seorang pun sedang ke rimba, yang memang tak lagi menyimpan sumber nafkah.
Lalu, apakah aneh, apakah cengeng, kalau pantun dan umpama, tiba-tiba tak tertampung irama dendang? Kata-kata tak sanggup menyusun sampiran, apalagi bait-bait inti! Maka, itulah tadi: dendang sunyi, dendang sunyi!
***
MALANGNYA, atau celakanya, dendang sunyi tak menyergap sampai di sini. Pada suatu hari, dawai hati orang kampung kami, disentuh lagi oleh getar kabar tak terperi: seorang perempuan kampung bernama Ambun, hilang di jalan ke ladang! Tengah hari! Ia seorang perempuan mengapa juga "diambil"? Kuat dugaan, ia jatuh ke lubuk batu berpalung dalam (tempat sejumlah barang bawaannya ditemukan), tapi sebagaimana kepergian aneh yang sudah-sudah, orang-orang merasakan ini ganjil belaka.
Lagi pula, kami telah selami itu lubuk sampai ke liang-liang tersuruk, ke palung-palung paling dasar, namun jasad Ambun tak ditemukan. Sedang kami percaya, sebagaimana laut, arus lubuk mana berhasrat menyimpan jasad? Ia akan mengapungkan, sebagaimana ombak dan gelombang mendamparkan jasad ke pantai, ke karang-karang. Begitulah alam mengajarkan kami banyak hal, seakan paham bahwa jasad manusia masih berharga untuk sekadar dikafankan, diupacarai, ditaburi bunga-bunga, dan diberi nisan buat ziarah. Maka, ketika hari ini alam seolah berubah perangainya, kami tak lantas percaya. Bukankah telah tersirat di hati segenap penduduk kampung, bahwa dua tahun terakhir ini kepergian bukan lagi sekadar kehendak alam, bukan sekadar adat kebiasaan, bahkan tidak kehendak Tuhan? Melainkan ada campur tangan luar yang terulur dari rintih pohon keramat dan hutan ulayat moyang kami...
Empat lelaki telah hilang, tengah malam, kini seorang perempuan lenyap diambil alam. Tengah hari. Apakah bedanya? Mereka sama-sama tak akan kembali. Bahkan jasadnya pun tak ditemukan. Tenggelam tak terselami, hilang tak tercari, mati tak bernisan, itu barisan kata-kata lama yang dikekalkan, dalam ratapan.
Sedang orang-orang tua di kampung kami, hanya sanggup bergumam, membaca waktu, membilang hari. Mungkin ini bukan salahnya alam, kata mereka, mencoba paham. Bukankah tengah hari merupakan bagian dari kasip waktu, sebagaimana senja-raya, sumber sugesti semesta? Saat yang dipercaya, jangankan lubuk, tepian pun enggan menerima setiap badan yang hendak mandi atau bersuci. Itu waktunya "orang-orang halus" turun ke air; mandi dan bersuka. Jangan diganggu, kalau tak mau kena "sapa" yang berarti tulah, penyakit atau celaka. Sedikit berbagi tak apa. Tengah hari milik mereka, orang-orang gaib atau para danyang halus itu (hanya tengah hari!), sedang pagi, sore atau sembarang hari yang lebih panjang, milik kami, tubuh-tubuh orang kampung mandi telanjang. Begitulah selama berpuluh tahun kami berbagi, menjaga keseimbangan.
Dan ketika Ambun kemudian hilang tenggelam, apakah karena ia telah salah memilih waktu untuk lewat? Sekali lagi, tengah hari! Dan tergelincir saat pulang dari ladang, mengingat ada di antara labu bawaannya pecah bekas terhempas? Kami antara percaya dan sangsi: Ambun kami kenal lincah dan awas, pandai membilang hari, meski kemungkinan itu bisa saja terjadi. Atau, apa mungkin ia memutuskan mandi di situ, mengingat parangnya tak ikut masuk—hanya tergeletak di tepi lubuk? Rasanya tidak. Sebab, jangankan Ambun, setiap anak yang baru tumbuh di teratak pun tahu, lubuk batu itu “berpenghuni”, apalagi di tengah-hari, saat berpuntal bayang-bayang, kata orang. Karenanya kami merasa puas berendam di tepian, mandi di tepi-tepi, berenang-renang tak sampai hilir. Ambun pasti lebih tahu tentang itu dan tak mungkin mungkir.
Pernah terpikir oleh kami dulunya: Banun bunuh diri? Husyi! Bicara apa kalian ini, beberapa di antara kami segera mengingatkan. Tak baik sangsi terlanjur jauh, kasihan ia yang pergi. Maka begitulah, kami pun membuang rasa sangsi itu jauh-jauh. Meski kami tahu benar keadaan Ambun yang sudah tidak bersuami, menjalani hidup yang berat, ke sawah ke ladang bersilih hari, tiga anak mesti dihidupi sendiri. Sedang semua yang ada seperti tak memberi harapan: sawah kering kerontang, ladang terancam—tapi sukar dipercaya kalau karena ini ia lantas menyerah.
Tidak. Kami kenal Ambun sebagai perempuan yang tabah. Justru, karena ladang terancam tak semata oleh hama, tapi oleh sesuatu yang lebih menyakitkan—hutan yang dirambah!—Ambun tambah tak kenal menyerah. Ia, bersama sejumlah orang kampung kami lainnya, merupakan perempuan paling lantang menggugat perusahaan kayu pemegang HPH yang bermarkas di hutan ulayat kami itu, meski tanpa dukungan para tumenggung. Tak apa. Kami tetap bersikeras menuntut agar perusahaan tersebut segera enyah karena mengancam keseimbangan setiap jengkal alam: tepian yang susut, pengairan yang sulit, ladang-ladang yang dibuat merana. Tapi tuntutan kami tak pernah terpenuhi. Puncaknya, pembakaran sejumlah basecamp kayu gelondongan! Sesudahnya, penghilangan-penghilangan malam itulah. Leman. Bualis. Kincau. Rambun. Dan kini Ambun! Bagaimana bisa Tumenggung Rayo menutup mata menyumbat telinga?
Sedang kami semakin yakin, karena perkara ini pula Ambun disesah dan ditenggelamkan dalam sandiwara yang sempurna, sebagaimana empat lelaki yang nasibnya tak jauh beda. Entah. Kini, hanya ingatan kami yang kembali, tercenung dan terguncang disergap dendang sunyi!
Ambun oi Ambun, perempuan anggun tak pernah ngungun; selalu bergerak membela hutan ulayat yang kian terdesak, bahkan berani menunjuk hidung para tumenggung. “Tak seharusnya Angku berpangku tangan melihat nasib anak-kemenakan yang kian hari kian tertekan! Angku harus ikut teken surat pernyataan kami yang menolak PT Palito Alam mengelola hutan ulayat,” masih terngiang suara Ambun yang lantang, ketika kami menghadap Tumenggung Rayo di balai adat Kapalo Koto. Tapi saat itu Ambun, sebagaimana kami semua tak bisa berbuat banyak, karena Sang Tumenggung bergeming berang, "Jangan paksa saya, Ambun, jangan paksa saya! Sebab saya pun bisa memaksa!”
Kami pun pulang berarak dengan hati yang retak. Dan tanpa diduga, sepanjang jalan pulang, sebagian kami tergerak bermain api. Kami menyempal, mencari sasaran basecamp PT Palito Alam, dan tak lama api berkobar di sejumlah titik. Dan ketika api padam, puntung kisah rupanya tak ikut hanyut, justru menyulut kobar bara cerita baru: ya, penghilangan-penghilangan malam itu. Bagaimanapun, tak ada tempat kami mengadu selain ke Tumenggung Rayo dan deretan kaki-tangannya. Tapi kali ini, jangankan mengadu, bertatap muka saja kami tak bisa. Orang-orang bertubuh kekar, entah dari mana datangnya, telah bersiaga di sekeliling balai adat. Tak seorang pun di antara kami bisa merapat, kecuali Ambun yang lolos dari pagar kawat halaman belakang. Wajahnya tergores, tapi ia berhasil naik ke anjungan balai adat dan berteriak-teriak dengan rambut kusut-masai,”Kembalikan mereka, hidup atau mati! Tumenggung harus bersama kami, harus bersama kami!”
Tak lama, terjadilah peristiwa itu. Ambun pergi, tak kembali seperti mereka yang pergi. Dan Tumenggung jelas tidak bersama kami. Maka sempurnalah dendang sunyi ini.
Tapi tidak! Dendang sunyi kami yang tak kunjung berujung, tiba-tiba disentakkan kabar ajaib. Begitulah, pada suatu hari yang murung, tak terduga tersiar kabar: Ambun pulang! Kami, terutama yang muda-muda, tentu saja secepatnya bergerak membuktikan "hal yang mustahal" ini. Tapi, sungguh di luar dugaan pula, Tumenggung Rayo dan rombongannya ternyata sudah terlebih dahulu tiba di rumah Ambun!
Etek Salimah, ibu Ambun, membukakan pintu, terbungkuk-bungkuk, antara takut
dan tubuh yang lapuk. Sebagian kami ikut masuk, yang lain menunggu di luar dengan perasaan campur-aduk.
"Duduklah, Angku, ia masih di kamar," bergetar suara Etek Salimah seraya menyorongkan kursi kayu kepada Tumenggung.
Tapi Tumenggung dan orang-orangnya tak mau, "Kami hanya membutuhkan Ambun. Ambun, ke luarlah!" teriaknya angkuh.
Seketika itu juga, terkuaklah selembar daun pintu yang letaknya sehampar lurus dengan ruang tamu, tempat di mana Tumenggung dan orang-orang tak sabar menunggu. Menyeruaklah aroma asing dan ganjil di ruangan itu, aroma tak dikenal, yang seketika mempercepat aliran darah pada segenap aorta, menyeret ingatan pada cerita peri dan bidadari, segala yang purba. Lalu seraut wajah muncul di situ, segar dan ranum, bagai sebongkah batu paras, lembut terbalut hijau lumut. Ambun, perempuan-batu yang orang anggap tenggelam ke lubuk dalam, tapi nyatanya ke lubuk waktu, kini benar-benar telah menebar kegaiban. Semua mata lekat memandang, terpesona oleh senyum dan kematangannya.
Mereka yang mulai tak bersetia sungguh merasa tertantang untuk segera duduk semeja, membicarakan hal-hal yang pokok dan tak pokok, yang lapuk dan yang usang, bahkan jika perlu sesuatu yang tabu dan terlarang! Tapi tidak bagi mereka yang bersikukuh pada adat dan pantangan. Lihatlah, mata mereka memancarkan api kebencian, seolah yang mereka saksikan bukan wujud hidup seorang perempuan, melainkan sesosok bayang, hantu atau jembalang, yang datang untuk menebar ancaman...
Dan di mata Tumenggung Rayo, sosok itu berubah menjadi bayang-bayang kematian yang siap menjemput ajal. Dingin dan tenang. Begitulah, ketika perempuan itu mencoba menyapa dan menyalami tangannya, seketika Tumenggung Rayo merasakan kematian begitu dekat.
Perasaan kami tambah campur-aduk tak menentu. Terlebih setelah semua mata melihat begitu nyata, Ambun, perempuan tabah itu berdiri dengan rambut terurai, semakin anggun dan ajaib! Kami takjub memandang, masih belum percaya, kalau saja Tumenggung Rayo tak langsung memulai interogasinya.
"Ambun! Kami sungguh tak mengerti apa yang telah upik lakukan kepada kami. Kami hanya tahu, pertama, upik telah membuat kami susah, mencari berhari-hari dan tidak ditemukan. Kedua, upik membuat masalah besar di kampung kita dengan mempermasalahkan benar pengelolaan hutan ulayat, lalu...."
"Tak perlu dilanjutkan, Angku. Awak 3) punya cara sendiri dalam membela hak kami, meski dengan cara paling sederhana. Sebab, cara apa pun yang kami lakukan selama ini tak pernah mendapat gayung-bersambut, bahkan empat nyawa dibiarkan hilang lenyap entah ke mana. Maka, ingatkah Angku pepatah agung kita, tentang batu yang jatuh ke lubuk tak mungkin berbalik?" Ambun berhenti sebentar, lalu tanpa memberi kesempatan, ia melanjutkan, "Mematahkan pepatah, itulah yang kulakukan. Tak usah bertanya bagaimana awak beberapa bulan ini sembunyi, yang jelas, saat awak kini kembali, Angku harus lebih tergugah mencari empat laki-laki kampung yang hilang karena urusan kayu!"
Sungguh pun kalimat itu ditujukannya buat Tumenggung Rayo, tapi kami, terutama yang muda-muda, merasakannya sebagai lecutan kepada punggung dan telapak tangan kami, yang masih memperturutkan hati dibuai dendang sunyi. Hingga lupa tanah di bumi. Tapi kini, mata kami saling tatap, bercakap dalam diam, hingga tak sadar Ambun telah beranjak pergi. Meninggalkan Tumenggung Rayo yang terkurung mata-mata liar kami bagai kawanan kuda jantan yang melotot mata-kelerengnya mendengar geluduk menyelimuti perbukitan. 4) (72)
Rumahlebah Yogyakarta, 2004
Catatan
1) dengan penyesuaian, dari puisi Octavio Paz, "Titik Mula Puisi" terjemahan Frans Nadjira (Jurnal CAK edisi I/1994)
2) dari puisi "Aku", Chairil Anwar (1922-1949).
3) awak = saya
4) dari puisi Derek Walcott, "Omeros", terjemahan Sapardi Djoko Damono (Horison edisi Grafiti, Juli, 1993)

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites