English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Pages

Selasa, 04 Oktober 2011

PENJAGA MALAM

Penjaga Malam

Cerpen Eka Kurniawan
HUJAN badai berhenti menjelang tengah malam. Kami melihat dua ekor ajak tersesat, mendatangi cahaya lentera di tepi gardu, namun segera bergegas menerobos gerumbul ilalang begitu mereka melihat kami. Binatang-binatang liar turun gunung, pikirku, demikian pula hantu-hantu.. Sejenak selepas aku memikirkan itu, satu angin kencang kembali berpusing di atas kami, membuat lentera terayun-ayun berputar dan sekonyong cahayanya padam. Kami mendengar sesuatu terbang di kegelapan, barangkali sepokok batang pisang tercerabut dan dilambungkan jauh oleh angin celaka.
Dalam kegelapan tak satu pun di antara kami bergerak, hanya berharap gardu tak ikut diseret sisa badai. Sebagaimana semula kami masih duduk di empat sudut gardu, menghadapi kartu-kartu yang bergeletakkan di lantai papan, yang tak kami sentuh sejak kebosanan tiba-tiba menghajar kami. Suara gemuruh sisa badai itu terdengar dari puncak bukit, dan serasa dijatuhkan, terdengar turun bergulung-gulung sebelum terempas ke perkampungan. Balai desa yang reyot itu pasti dibikinnya ambruk, pikirku lagi. Saat itulah sesuatu lari di depan kami, barangkali sepasang ajak itu, lalu kami mendengar mereka, atau kawanan mereka yang lain, melolong di kaki bukit. Kami juga mendengar suara berderak, serasa batang-batang pohon menggeliat dipelintir, seperti rakit merekah. Udara dingin juga menggigilkan kami.
Apakah bajang itu juga keluar di malam celaka seperti ini? Istriku yang tengah bunting lima bulan mengaku melihat bajang itu pada waktu subuh, ia menjerit dan aku terbangun. Sejak itu ia tak pernah mau keluar rumah di malam hari seorang diri. Ia terbiasa bangun menjelang subuh untuk mengambil kayu bakar di bekas lumbung, lalu mengambil air di pancuran. Sepanjang subuh istriku sibuk sendiri di belakang rumah, sementara air dijerang di atas tungku, ia akan mencuci piring dan pakaian di pancuran. Sejak ia melihat bajang itu, ia tak melakukannya lagi kecuali aku menemaninya. Dan subuh ini aku tak akan bersamanya, pikirku serupa satu ramalam yang aneh, sebab bajang itu mungkin telah masuk ke rumah.
Kesenyapan sekonyong datang begitu angin berhenti. Gelap pekat membuatku serasa dikubur hidup-hidup, dan aku bertanya-tanya ke mana suara binatang-binatang malam. Aku berharap ajak itu muncul lagi, paling tidak untuk meyakinkanku sesuatu masih hidup di sekitar gardu. Tapi tak ada ajak setelah menit-menit berlalu. Bukan kebiasaan mereka tersesat hingga ke kampung. Babi dan monyet sering melakukaonya, tapi tidak ajak. Seekor buwung hanuu menggeram, demikian suaranya kudengar, namun segera lenyap. Dunia kembali sunyi, lelap seperti mayat. Kugerakkan jemariku, memastikan diriku masih hidup.
Lalu aku merasa mendengar kesunyian, betapapun anehnya ungkapan itu bagiku. Tapi benar, aku mendengarnya, suatu bunyi yang kosong, yang berbeda dengan apa pun. Untuk kesekian kalinya aku berpikir mengenai kematian. Hantu-hantu keluar dari liang kubur di malam-malam seperti ini.
Kesunyian itu dikejutkan oleh bunyi pemantik, dan aku melihat seseorang membakar rokok lintingan daun aren di tentangku. Itu Karmin. Kulihat wajahnya kemerahan di balik lidah api, matanya redup, lalu lenyap selepas ia memadamkan apinya. Yang tersisa hanya ujung rokok lintingan yang oranye, mengapung di lautan hitam pekat. Bara api itu bergerak, turun dari lantai gardu dan wajah Karmin kembali samar terlihat ketika ia mengisapnya. Beberapa waktu kemudian lentera kembali menyala dan angin berembus perlahan. Di depan kami deretan pohon pisang dan ketela menari, bayang-bayangnya terbang serupa jemari setan gunung. Karmin yang baru menyalakan lentera masih berdiri, mengangkat sarung dan menyelimuti dirinya. Satu tangan menjepit ujung sarung sambil mengapit rokok, tangan lain menggenggam lampu senter. Setelah termangu sejenak, ia membuang puntung rokoknya, kemudian meraih kentongan kecil. Aku pergi berkeliling, katanya.
Ia lenyap ke arah barat. Hanya cahaya lampunya sekali-kali berkelip, dan bunyi kentongan sekali-kali dipukul, memberi kabar di mana dirinya. Seseorang harus berkeliling memastikan hantu-hantu tak menjarah kampung. Karmin mestinya tengah berjalan sepanjang tegalan yang menjulur mengikuti selokan kecil. Selokan itu mengelilingi kampung kami dan bermuara di sebuah sungai. Setelah hujan badai, selokan bakal meluap menyeret bekicot, lumut dan kodoknya. Kami masih mendengar suara kentongannya dipukul, di suatu jarak yang tiba-tiba terasa asing. Serasa ia tak ada di kampung ini lagi. Suara kentongan itu demikian sayup-sayup menjauh. Ia mestinya berputar, muncul lagi dari timur setelah setengah jam.
Aku melihat kegelisahan di wajah kedua kawanku. Seorang di antaranya turun dan memeriksa ceret di atas tungku yang padam, di kolong gardu. Badai tak menumpahkannya. Ada air kopi di dalamnya, dan lelaki itu, Miso, menuangkannya ke cangkir kaleng. Ia menawari kami dengan sikap gugup yang aneh, dan dengan enggam kami menggeleng. Seharusnya aku juga meminum kopi, pikirku, tapi aku tak juga beranjak. Miso duduk di dekat lentera, memandang ke arah Karmin pergi, menggenggam cangkir kalengnya, dan sekali-kali meminum kopinya. Aku ingin mengajaknya bicara, tapi satu perasaan tak patut merongrongku, serasa aku tengah menghadapi upacara berkabung dan orang dilarang bicara.
Suara kentongan Karmin masih terdengar, lirih dan semakin jauh. Apa yang membuat kami gelisah, suara itu terasa terbang semakin tinggi. Suara itu datang jauh dari atas, lalu lenyap. Aku mencoba berpikir itu bukan suara kentongan Karmin. Barangkali suara sayap alap-alap berkepak sekali-kali. Tapi jika itu benar, seharusnya kami mendengar Karmin memukul kentongan. Seharusnya ia telah sampai di bulak, atau tengah melintasi jembatan kecil di tepi rumpun nipah, lalu segera muncul lagi dan seseorang yang lain memperoleh giliran kedua untuk berputar. Dalam keheningan aku mulai menyadari degub di dadaku, diselingi suara Miso menyeruput kopi.
Lelaki itu tampak tak menikmati kopinya. Kulihat tangannya bergetar meletakkan cangkir kaleng di palang kayu, lalu berdiri dan kencing di samping pohon pisang. Angin berembus kembali, perlahan dan basah. Lentera terayun dan bayang-bayang pohon pisang serasa hendak menerkam Miso. Lelaki itu bergegas kembali sambil mengikat tali kolornya, duduk di tepi gardu, masih memandang ke arah Karmin pergi. Setengah jam telah berlalu, Karmin tak akan kembali, pikirku. Miso menoleh dan memandang ke arah timur. Tak ada suara lentera, pun suara kentongan. Dan gerimis kecil mulai turun.
Saat itu aku kembali teringat kepada istriku. Di dalam perutnya ada anak pertama kami dan aku cemas bajang itu akan merampoknya di malam seperti ini. Seseorang harus berkeliling kampung memastikan rumah-rumah tak diserbu setan, aku bergumam. Miso memandangku, lalu kembali mengedarkan pandang ke timur. Kami sama menanti Karmin dan berharap ia datang membawa kabar baik, bahwa kampung tak tersentuh celaka apa pun. Tapi Karmin tak juga muncul sementara istriku di rumah tak terjaga siapa pun. Ia harus mengunci pintu rapat-rapat.
Kata istriku, bajang itu serupa musang, tapi ia mengeong serupa kucing. Hantu macam begitu sering mendatangi perempuan-perempuan bunting, merampok anak di dalam perutnya, atau membuatnya gila.. Aku telah berkeliling kampung mencari secarik sutera hitam dan kuikatkan di pergelangan tangan istriku sebagai penangkal hantu bajang, tapi aku tetap mencemaskannya. Kulihat matanya yang tak rela kala aku harus pergi, sebagaimana biasa aku memperoleh giliran berjaga di malam Selasa. Ketika malam mulai mendingin dengan kabut tebal menggelayut di pucuk pohon kelapa, seharusnya aku memang mendekam di tempat tidur bersamanya. Sejak perutnya membesar, istriku tidur telentang dan aku tak bisa mendekapnya erat. Tapi ia akan membiarkanku menggenggam tangannya dan kami tidur lelap.
Kunci semua pintu, kataku kepadanya. Telah kuperiksa pula jendela-jendela. Tapi jika kukunci rapat, bagaimana kau akan masuk? Aku tak menjawab, seolah tahu aku tak bakal kembali. Hanya kucium bibirnya, kubelai perutnya, menyambar lampu senter dan pergi menerobos gerimis yang mulai turun. Gerimis itu berubah menjadi badai dan lentera-lentera di nok setiap rumah mulai mati. Ajak-ajak keluar dan kami menggigil. Kini gerimis itu datang lagi, aku berharap ini hanya sisa dan tak akan berubah menjadi badai celaka yang lainnya.
Miso mengambil kentongan kecil dari kolong dan memukulnya tiga kali. Ia berharap Karmin akan membalasnya, tapi tak ada balasan. Kulihat si bocah kecil yang masih termangu di sudutnya menjadi pasi dan bibirnya menggigil. Ini jaga malam pertamanya, menggantikan ayahnya yang terbaring sejak dipatuk ular tempo hari. Sejak tadi ia tak bicara. Miso juga memandangnya, lalu kembali memukul kentongan, tiga kali, dan masih tak beroleh balasan.
Baiklah, aku akan menyusulnya, kata Miso. Ia mengambil capingnya untuk melindungi diri dari gerimis. Aku ingin mencegahnya, sebab pikirku, jika ia pergi barangkali juga bakal lenyap tak kembali. Tapi mulutku terkatup rapat, malahan menggigil pula, dan sekonyong rasa kantuk menyergap mataku. Pergilah dan aku akan selalu mengenangmu.. Miso menyalakan senternya, mulai berjalan menerobos tirai gerimis menuju timur, masih berharap berpapasan dengan Karmin. Sekali-kali ia memukul kentongannya, dan di suatu jarak cahaya lampunya menjadi lenyap, dan bunyi kentongannya tak lagi terdengar.
Bocah itu, Hamid, memandangku dengan tatapan bertanya. Aku begitu lelah dan mengantuk, tak memedulikannya, dan bersandar ke dinding gardu mencoba melepas penat. Namun tiba-tiba aku bangun dan turun, tanpa alas kakiku menjejak tanah. Kemana? tanya si bocah Hamid dengan suara nyaris tak berbunyi. Aku hanya ingin kencing.. Aku berlari kecil dan berlindung di balik daun pisang dari curah gerimis, kencing di sana. Angin lembut datang lagi, daun-daun pisang yang kering menjuntai menari. Lampu lentera mati lagi dan kami terkurung kembali dalam kegelapan. Tergopoh aku mengikat tali kolor, aku tak memegang mampu, maka aku berjalan meraba-raba. Si bocah menyalakan lampunya, menerangi jalanku.
Dibantu cahaya lampu dari si bocah Hamid, aku memeriksa lentera. Angin kecil tadi pasti telah melumat apinya, pikirku. Ternyata aku keliru. Cahaya lentera mati dengan sendirinya, sebab lambung minyaknya telah kerontang. Tak ada yang bisa dilakukan. Aku duduk di tempat tadi Miso duduk, dan tak lama kemudian kudengar si bocah mengisut lalu duduk di sampingku. Cahaya lampunya menerangi jalan ke timur, lengang dan becek, sebelum ia mematikan lampunya.
Tenggelam dalam kegelapan, yang terdengar kemudian hanya dengus napas kami. Angin telah berhenti pula dan semua yang ada di sekeliling kami membatu. Kucoba menajamkan pandanganku ke arah kampung. Aku berharap ada lampu mulai menyala, tapi tak ada. Mereka semua tidur dan tak akan pernah bangun lagi, pikirku. Aku tambah menggigil dan kudengar si bocah Hamid bergemeletuk pula.
Telah lewat satu jam dari tengah malam. Bahkan ayam-ayam tak berkokok, dan air di selokan tak terdengar mengalir. Aku hanya mendengar suara kesunyian, seperti tadi, dan dengus napas.
Kemudian kudengar sebuah suara lain. Kuraih lampuku cepat dan kusorotkan ke gerumbul pohon pisang. Seekor ajak. Ia memandang kami, lalu melongos dan pergi dengan ekor bergoyang ke arah bukit. Kusorotkan lampu ke arah kampung, cahayanya menimpa lorong-lorong yang sempit, dinding-dinding yang kelabu. Tak satu pun bergerak. Air menggenang di sana-sini, sebuah kisa ayam mengapung di sebuah genangan, dan sehelai kain kuyup menggantung di tiang jemuran. Semuanya serupa gambar yang belum jadi dan sekonyong aku merasa asing dengan pemandangan tersebut. Di mana rumahku, ah, melewati lorong itu dan belok kiri, di sana istriku sedang berbaring di balik selimut. Barangkali bajang itu telah menggerogoti dinding dan masuk.. Kumatikan lampu, baterainya telah lemah, terlihat dari warna cahayanya yang mulai pucat kemerahan.
Hamid turun dan mengambil kentongan lain, memukulnya, tidak tiga kali namun berkali-kali. Lalu ia diam mendengarkan, dan kami tak mendengar balasan apa pun.
Aku akan mencari Karmin dan Miso, katanya. Tidak, aku saja, kataku. Aku tak ingin di gardu seorang diri, katanya lagi. Mari pergi berdua, aku mengajak. Tidak, seseorang harus menunggu di gardu. Baiklah, aku menunggu di sini. Kembalilah dan beri aku kabar dengan kentonganmu. Pukul terus sehingga aku tahu kau di mana. Si bocah Hamid menyalakan lampunya dan kulihat ia mengangguk. Semula ia ragu apakah hendak ke barat atau ke timur, namun kemudian ia memilih arah ke mana Karmin menghilang.
Kulihat lampunya menerangi setapak, kadang lenyap terhadang bayangan pohon mahoni, dan kudengar kentongannya dipukul berirama tak putus-putus. Namun di suatu jarak cahaya itu pun lenyap dan demikian pula bunyi kentongannya. Ia pun menghilang dan tak akan kembali, lenyap ditelan gelap. Kurasakan wajahku berubah pasi dan bintik-bintik keringat muncul di sekujur tubuh, di tengah selimut hawa dingin ini. Kini aku sendiri, dan giliranku bakal tiba.. Aku masih berharap si bocah Hamid memukul kentongan, namun bersama berlalunya waktu harapanku nyata sia-sia. Aku memukul kentongan yang tergantung di ujung gardu keras-keras, berulang-ulang menciptakan keributan tanpa ampun. Itu cukup membangunkan seluruh isi desa, beserta hantu-hantu kuburannya.. Tapi tak ada cahaya menyala dan tak ada yang terbangun. Aku tak melihat kehidupan. Dengan tangan bergetar terus kupukul kentongan, dan itu hanya memberi kegaduhan yang tak berarti.
Aku berlari menyusul si bocah Hamid dengan lampu yang redup. Lampu itu kehabisan baterai di tepi sebuah empang, lalu cahayanya lenyap. Aku mencoba memukul-mukulnya. Sejenak lampu menyala dan kulihat sepasang mata berkilap. Seekor kucing. Bukan, itu musang. Ah, itu bajang.. Lampuku mati dan tak lagi mau hidup. Dikurung kegelapan yang pekat, aku mulai berserah. Aku tak lagi melangkah, pun tak merasa menjejak tanah. Aku tak bakal balik malam ini, kataku bergumam. Dengan mata berurai air mata, aku terkenang kepada istriku.
2004
* Eka Kurniawan lahir di Tasikmalaya, 1975. Dua novelnya Cantik Itu Luka dan Lelaki Harimau diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, Mei 2004

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites