English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Pages

Selasa, 04 Oktober 2011

SESAAT DALAM PERJALANAN

Sesaat dalam Perjalanan


Semua perlengkapan sudah beres. Semua panitia dan peserta latihan alam pun sudah komplit. Aba-aba berangkat telah diberikan Imam, seniorku. Dia senior paling galak, disiplin, tapi justru senior paling akrab.

Aku membawa tas perlengkapan yang paling berat. Dia sudah memperingatkan, tapi aku ngotot.
"Medannya berat Leli. Terlalu menanjak dan tanahnya berpasir. Biar aku yang bawa."

"Aku bisa. Kenapa sih tidak membiarkanku mencoba? Apakah karena aku perempuan?"
Dia tidak mendebatku lagi. Kami berjalan beriringan. Sampai tanjakan berpasir, aku merasakan tubuhku mulai oleng. Tapi aku berusaha menjaga keseimbangan. Tiba-tiba mata berkunang-kunang dan pening.

Aku tidak bisa menjaga keseimbangan lalu jatuh tertelungkup. Imam menarik lenganku cepat, kalau tidak aku pasti merosot turun. Sekilas kulihat dia memberikan aba-aba untuk meneruskan perjalanan, tapi dia menyuruhku berhenti. Perutku terasa mual.

"Wajahmu masih pucat begitu. Istirahat dulu."
"Aku kuat dan sehat. Ayo, aku ingin sampai lebih dulu ke lokasi." Aku berdiri.

"Oke, aku yang bawa tasnya."
"Aku tadi yang bawa. Ya harus bertanggung jawab." Aku kembali ngotot.

"Apa sih yang ingin kamu tunjukkan dengan menyiksa diri begitu?" Kali ini dia membentakku.
"Kau kira aku tidak kuat? Tadi itu cuma terpeleset, apa salah? Kenapa sih selalu meremehkan kemampuan perempuan? Selalu merasa kuat sendiri."

"Aku tidak pedulu kamu perempuan atau laki-laki. Ini juga bukan soal salah benar. Tapi kemampuanmu saat ini. Besok boleh kau bawa lagi, jangan memaksakan diri."
Kami berjalan lagi. Kali ini dia yang membawa tas itu. Aku jengkel merasa diremehkan, tapi tak bisa membantah.

Sorenya, sepulang dari mengantar peserta dalam pengamatan lokasi, Nana, seorang seniorku, bilang aku merasa kuat tapi keok di tengah jalan. Sesuaikan dengan kemampuan.

Leo, seorang seniorku yang lain, bilang kalau kemampuan perempuan memang segitu, diakui saja. Secara fisik saja perempuan sudah tidak bisa disamakan dengan laki-laki.

Aku membantah dan mendebat mereka. Konvensional sekali pikiran kalian. Ini bukan soal jenis kelamin, tapi kemampuan tubuh masing-masing orang. Kalaupun tadi aku tidak kuat, bukan karena aku perempuan, tapi kondisi tubuhku sebagai manusia saat itu. Setidaknya aku telah mencoba dan akan kucoba lagi.

Aku lihat Imam tersenyum. Gara-gara dia aku jadi diremehkan karena jenis kelamin. Ini diskriminasi namanya.
Malam harinya, aku dan Imam bertugas jaga. Aku memang tidak mau di bagian konsumsi dan obat-obatan. Aku bagian investigasi lapangan dan bertugas jaga malam. Aku diam saja. Kejadian tadi masih membuatku sumpek.

"Kenapa sih setiap hal selalu kamu kaitkan dengan keperempuananmu?" tanyanya, memancingku bicara.
"Semua saudaraku perempuan. Dalam banyak hal yang dianggap pekerjaan laki-laki, selalu menunggu ayah. Ayah merasa jengkel dan menyesali kenapa kelima anaknya perempuan. Aku juga jengkel, ini bukan soal jenis kelamin, tapi perlakuan ayah dan ibu soal perempuan sejak kami kecil itu yang keliru, jangan kami yang disalahkan. Sejak itu kami tidak mau mendengar apa pun soal perbedaan kelamin."

Aku tak tahu kenapa aku bisa sejujur itu padanya. Dia merenung lama lalu mulai bicara.
"Aku punya seorang adik perempuan. Kalau masih hidup mungkin seusiamu. Karena dia satu-satunya perempuan, kami melarangnya melakukan apa pun yang membahayakan. Tapi ternyata dia malah merasa tidak bebas. Suatu ketika dia ngotot mengikuti kegiatan kelompok pecinta alam di sekolahnya."

"Kami melarangnya, dia memaksa betul. Kami izinkan, dengan syarat aku harus ikut dengannya. Tapi ketika aku lengah, dia ikut latihan mendaki bukit terjal yang sebenarnya tidak terlalu tinggi. Karena tidak terbiasa, dia tergelincir. Juran yang dalam menyambut tubuhnya yang lemah, dia tidak selamat. Kami merasa bersalah karena telah memenjarakannya dalam keyakinan kami bagaimana seharusnya perempuan. Mungkin karena itu pula aku merasa selalu ingin bersamamu, menyayangimu, tapi tetap membiarkanmu bebas."

Aku terkesima. Tak disangka pengalaman kami begitu unik untuk mengerti bahwa perempuan adalah manusia yang tidak didiskriminasi karena jenis kelamin. Aku pun sayang padanya. Sebagai laki-laki yang bukan melindungiku dengan larangan, tapi dengan kebersamaan yang membebaskan diriku.
Oleh Avif Nuravivaf
Penulis adalah mahasiswa Univ. Jember

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites