English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Pages

Selasa, 04 Oktober 2011

SAYAP ITU AKAN SEMBUH

Sayap Itu Akan Sembuh


Oleh Dessy Natalia
Penulis adalah siswa SMUK Stella Maris Surabaya

"Surat ini adalah surat pertamaku. Surat tanpa tujuan yang pertama. Begitu banyak pikiran yang mengganjal yang ingin kuceritakan. Tapi aku tak punya tempat untuk bercerita. Oleh karena itu kutulis surat ini.

Saat kutulis surat ini, yang kuperlukan hanyalah dukungan seseorang, bukan pujian atau semacamnya. Aku tidak ingin aku menjadi sahabatku. Yang kuinginkan hanyalah kau mau mengenal diriku. Aku memerlukanmu untuk mendengar ceritaku, hanya mendengar, tak perlu yang lain. Begitu banyak bagian dari hidupku yang ingin kuceritakan. Tapi tak satu pun mau mendengarnya hingga semuanya seperti angin lalu.

Saat kukatakan bahwa aku sedih, bukan hiburan yang kau ulurkan melainkan gema tawa dalam hatimu.

Aku…"
Pena yang mulanya menari-nari di atas lembaran putih kusam itu kini tergeletak seperti kehilangan nyawa. Ia tak mau melanjutkan tarian sendu penanya. Bukan, bukannya tidak mau tapi…
Tapi karena ia tak sanggup untuk menulisnya. Sayapnya lunglai, lemah menggantung tak berdaya. Perlahan, dengan penuh makna, penuh sendu, cucuran darah membasahi helai demi helai bulu sayapnya.
Semakin menggoreskan tinta untuk sebuah makna, semakin deras cairan itu mengucur. Ia tak mau membiarkan cairan itu mengucur sia-sia. Sulit untuk menghentikan aliran itu, tapi ia yakin ia mampu melakukannya.
Selang beberapa hari, sayapnya tak kunjung sembuh. Yang kulihat hanyalah balutan perban sementara. Entah siapa yang membalutnya. Tapi yang jelas balutan itu takkan bertahan lama. Sebentar lagi akan longgar dan cairan itu akan kembali mengalir.
Malam itu bulan tampak tersenyum getir padanya. Senyuman hambar tanpa alasan. Ia duduk di beranda kamarnya, kembali membuat penanya menari.
"Untuk kali kedua kutulis surat tanpa tujuan ini. Ternyata tidak setiap hari yang kuharapkan menjadi baik. Justru sebaliknya. Saat sebuah keputusan sudah terpikir dan terucap, ternyata ada sesuatu yang hilang dari bagian hidupku. Karena keputusan ini adalah kata berpisah.

Ada orang yang mengatakan bahwa yang menciptakan suatu keadaan adalah kita, bukan orang lain. Kelihatannya diriku tak sanggup menciptakan keadaan yang baik karena di sekelilingku banyak kutu loncat yang setiap saat berlomba-lomba untuk melakukan loncatan lebih tinggi. Aku hanyalah kutu biasa yang tidak mampu menyaingi loncatan mereka. Aku hanya dapat menunggu saat mereka jatuh terperosok dan mengobati lukanya."

Gerakan penanya terdiam. Ia merasakan aliran hangat menembus kulitnya. Balutan itu ternyata sudah lepas. Ia tidak menyadari karena ia hanyut dalam tarian sendu penanya. Sekali lagi ia berhenti.

Malam semakin larut. Bulan masih tersenyum getir. Ia merasa terpojok dalam malam, kolong tempat tidur pun tak mampu menjadi tempat persembunyiannya.

Ia ingin memalingkan muka, tapi tak akan ada gunanya. Malam tak akan bertepuk tangan karenanya. Ia lelah, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Ia putus asa, ia tinggalkan semuanya dalam kebisuan malam.

Raja dunia kembali dari tidurnya. Kuasanya menyelubungi seluruh peslosok bumi. Selembar kertas melayang dalam angannya. Iapun meraih dalam kekosongan, membaca dalam mimpi.

"Setiap manusia mempunyai sebuah sayap cinta. Ia diharuskan mencari yang sebuah lagi agar bisa digunakan untuk merengkuh cinta yang sebenarnya. Tapi orang-orang tertentu memiliki sepasang sayap. Karena mereka adalah orang-orang terpilih untuk menderita sebelum mereka bebas mengepakkan sayapnya. Dan kau salah satu dari mereka…"

Embun pagi berkejaran menuruni bukit hijau. Bayangan diri semakin lama semakin menjulang ke kanan, hilang, memanjang lagi ke kiri. Alunan irama gemericik air dan sulingan air menyatu. Mengantarnya menuju realita hidup.

"Sayapku yang satu ini sulit sekali sembuh. Tiap kali selalu terluka oleh permasalahan yang sama. Tapi obat untuk menyembuhkannya selalu sulit ditemukan. Saat ini hanya menunggu, menunggu balutan perban dari tiap orang yang berbeda. Mungkin suatu saat nanti akan ada permanen yang membalut sayapku hingga sembuh kembali. Karena, aku percaya sayap itu akan sembuh demi cinta yang kukejar."

Hari berganti hari, waktu berlalu, musim dingin telah tiba, dan gemerlap Natal menyentuh bumi. Kini sayap itu telah sembuh, justru sayap itu semakin kokoh. Dan, pada malam penuh cinta dan harapan, sepasang sayap itu membawanya pergi meninggalkan balutan penuh noda, penuh penderitaan, sakit hati, dan kebencian. Menuju cinta yang abadi. Kepakan sayap yang lembut membelai malam, menyisakan gema dalam cahaya bulan.
"Sayap itu kini telah sembuh…"

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites