English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Pages

Selasa, 04 Oktober 2011

SEPOTONG CINTA DI HUTAN KARET

Sepotong cinta di hutan karet bag 1

Hujan begitu deras sore ini. Istriku, wanita sederhana yang kunikahi 3
tahun yang lalu nampak asyik menekuni kegemarannya mengisi TTS. Ah,
mengapa setiap memandang wajah sederhananya selalu terbersit perasaan
bersalah? Mengapa tidak bisa kuberikan seluruh cintaku padanya? Hujan
memang bangsat. Setiap titik airnya selalu menggoreskan rinduku
padanya. Istriku? Bukan, Neva. Wanita yang selama sepuluh tahun ini
dengan setia mengisi satu pojok hatiku. Wanita yang selalu membuatku
merasa bersalah pada istriku.
Perkenalan pertamaku dengannya terjadi sepuluh tahun yang lalu. Waktu
itu aku harus mengikuti KKN dari universitas paling ternama di
Yogyakarta. Pertama kali kenal, aku tidak peduli karena waktu itu aku
baru putus dari pacarku. Bayangkan saja 4 tahun aku pacaran dan dia
memutuskanku begitu saja. Neva bertubuh sedang, rambut dipotong pendek
ala Demi Moore, wajahnya lumayan manis. Tapi yang paling menarik
adalah sinar matanya yang hangat, tulus , bersahabat dan selalu
tertawa. Seminggu orientasi aku masih tidak begitu peduli bahkan
sering terganggu dengan gaya ketawanya yang begitu spontan. Kebetulan
kami satu regu.
"Mas.. mau kopi?" sapaan istriku membuyarkan lamunanku ttg Neva.
Dengan cepat aku mengangguk. Entah mengapa aku kesal karena lamunanku
terhenti.
"Aduh... Yok... bagus ya desanya... Uih... kayak negeri para dewa,"
Neva spontan berkomentar saat kami tiba di desa yang terletak di
lereng Merbabu. Hm.. bener juga gumanku. Tempat regu kami tinggal
adalah rumah kosong di pinggiran hutan karet. Tiap pagi embun turun
dan menari di sela-sela hutan karet itu dimana sinar matahari dengan
lembut menyeruak di antaranya. Dan setiap bangun pagi, aku selalu
dikejutkan senyum Neva sambil menyeruput kopinya (entah jam berapa dia
bangun pagi).
"Pagi.. Yok! uh... tadi bagus deh..." dan berceritalah dia tentang
kegiatan jalan-jalan paginya.
Entah, akhirnya setiap pagi kami selalu bercerita tentang bayak hal
sambil menikmati kopi. Baru kusadari wanita ini di samping begitu
mandiri dia juga cerdas luar biasa. Dia bisa bercerita mulai dari
Nitsche, harga saham, Picasso, Pink Flyoid sampai kemiskinan. Yang
luar biasa dia ternyata pernah mendapat beasiswa pertukaran pelajar,
pinter main piano dan bekerja part time (meski dia berasal dari
keluarga yang cukup berada). Aku semakin suka berada di sampingnya.
Di mataku kecerdasannya membuat dia begitu menarik, cantik dan seksi.
Hingga suatu malam saat kami ngobrol berdua saja di teras dia
mengejutkanku dengan pernyataannya, " Yok... aku ini sudah nggak
perawan." Aku begitu terkejut, bagi orang sepertiku yang dididik sejak
kecil bahwa seorang wanita harus menyembunyikan emosinya, pernyataan
seperti ini begitu mengguncang emosiku
"Ya... Tuhan... wanita seperti ini yang aku cari..." seruku dalam
hati. Betapa jujurnya dia.
Dia bercerita tentang rasa cintanya yang begitu besar pada pacarnya,
kesedihannya karena pacarnya tak pernah memintanya menjadi istrinya
meski mereka telah pacaran hampir 6 tahun. Tanpa kutahu pasti, aku
telah jatuh cinta padanya dan yang menyedihkan aku tidak berani
menyatakannya. Aku nikmati saja hari-hari KKN ku. Kami main air di
sungai, jalan-jalan. Setiap pacarnya datang, kutekan rasa cemburuku
dan sakitku bahkan aku dengan gaya yang sok berbesar hati sering
mengantarnya ke terminal untuk pulang menengok pacarnya. Setiap kali
sehabis pulang, dengan gaya lucunya dia bercerita tentang
persetubuhannya dengan pacarnya. Neva... tahukah kau aku mencintaimu?
Sampai suatu hari, aku dan dia pergi ke kota asalku Solo untuk mencari
sponsor bagi pasar murah yang akan kami selenggarakan. Tanpa terasa
kami kemalaman.
"Nev... kita nginap di rumah ibuku yuk?"
Sungguh! Waktu itu aku tidak punya pikiran apapun. Dan seperti yang
sudah kuduga, keluargakupun sangat menyukainya. Bahkan ibuku bilang,
"Dia lain ya sama Rini? Anaknya ramah dan baik". Ah.. betapa inginnya
aku bilang, "Dia wanita yang kuinginkan jadi istriku, bu".
"Yok... aku tidur dimana?" tanya Neva.
"Dikamarnya Iyok aja, nak. Itu di kamar depan." ibuku begitu
bersemangat menata kamarku.
"Wah... ntar Iyok tidur dimana?"
"Biar tidur di sofa ruang tamu".
Rumah ku memang agak aneh, hampir seluruh kamarnya ada di belakang,
hanya kamarku yang terletak di depan.
Malam itu aku gelisah tak dapat tidur. Entah mengapa aku begitu rindu
pada Neva. Gila! Padahal seharian tadi aku bersamanya. Seperti ada
yang menggerakkan aku pergi ke kamarku di mana Neva tidur dengan
memakai daster ibuku!. Nampak tidurnya begitu damai. Ya... ampun baru
kusadari betapa besar cintaku padanya. Tanpa terasa aku belai pipinya
dengan lembut. Dia menggeliat. Oh.. sungguh seksi sekali.
Tiba-tiba saja tanpa dapat kubendung kucium bibirnya dengan kelembutan
yang tak pernah kuberikan dengan pacarku dahulu. Neva membuka matanya,
dan baru kusadari betapa indah mata itu.
"Yok?"
Tapi dia tidak berbuat apa-apa. Kembali kukulum bibirnya, diapun
menyambut dengan hangat ciumanku. Lidahnya bermain begitu luar biasa
di lidahku. Tanpa terasa sesuatu yang keras menyembul dari balik
celanaku. Kuciumi dengan hangat lehernya, dia menggelinjang geli.
Dibalasnya ciumanku dengan ciuman lembut di leherku, turun ke dadaku.
Lalu dengan gerakan yang begitu lembut, dilepasnya kaosku. Kubalas
ciumannya dengan ciuman di dadanya. Ya... ampun... dia tidak memakai
bra. Terasa putingnya mengeras dan dadanya begitu kencang. Tanganku
masuk dari bawah dasternya. Ugh... dadanya begitu penuh.
Gelinjangannya begitu mempesona. Dia begitu meenikmati sentuhanku.
Tiba-tiba dia menggerang, " Don... ah...". Bagai tersengat listrik,
kulepaskan cumbuanku. Ada rasa nyeri menyeruak di dalam dadaku. Dia
menyebut nama pacarnya! Neva pun tersadar.
"Yok... maaf..." segera diambilnya kaosku.
"Pergilah... maaf... aku... aku... kangen sama Don". Diapun menundukan
kepalanya. Mungkin orang menanggapku gila karena keterusterangannya
justru membangkitkan gairahku. Entah aku begitu yakin akan perasanku
padanya, rasa cintaku dan aku ingin dia memilikiku. Akan kuberikan
keperjakaanku padanya. Ya... aku masih perjaka! Meski aku pacaran
serius selama 4 tahun dengan Rini, aku adalah laki-laki yang begitu
menghargai keperjakaan. Bahkan aku pernah bersumpah hanya kepada
istriku akan kuberikan keperjakaanku. Seperti ada kekuatan gaib tiba-
tiba aku bertanya.
"Nev... maukah kamu mengambil keperjakaanku?"
"Tapi... Yok?"
"Aku tidak peduli Nev... aku mencintaimu... aku ingin kamu yang
mengambilnya... aku ingin kamu menjadi istriku" sambil kugenggam
tangannya. Ada buliran air mengalir dari mata bulatnya. Neva hanya
terdiam, dan dengan lembut diambilnya tanganku dan dibawanya ke
dadanya.
"Kamu begitu tulus...Yok...". Hanya itu kalimat yang keluar dari
mulutnya. Selanjutnya dia mencium bibirku, pertama lembut sekali tapi
makin lama makin liar, dibaringkannya tubuhku di tempat tidur.
Lidahnya menjilati belakang telingaku, turun.. keputingku... ke
tanganku... lalu turun ke ibu jari kakiku.. ke.. atas... ke paha... ya
ampun! Aku belum pernah melakukan ini. Dulu dengan Rini aku hanya
melakukan sebatas `pas foto', itupun dengan baju yang terpakai. Tiba-
tiba gigitan kecil dikelelakianku membuatku tersentak, dengan giginya,
dibukanya celana pendekku, lalu celana dalamku. Ya.. aku telanjang
bulat di hadapannya. Lalu dengan gerakan lembut dia membuka dasternya,
lalu celana dalamnya. Aku masih dalam posisi terlentang.
Antara bingung dan gejolak yang luar biasa. Dengan senyum manisnya,
Neva menjulurkan lidahnya ke arah lelakianku. Dimainkannya ujung
lidahnya di pangkal kelelakianku. Aaggh... ya Tuhan... inikah Surga-
Mu? Aku tak mampu berkata apa2 saat mulutnya mengulum kelelakianku
sambil sesekali diselang-seling dengan mencepitkan buah dadanya.. Aku
hampir saja tak kuat menahan lava di dalam kelelakianku. Tapi di saat
aku hampir menyemburkannya, tangannya dengan lembut memijat pangkal
kelelakianku itu. Ajaib, lava itu tak jadi keluar meski tetap
bergejolak.
Demikianlah... hal tersebut dilakukannya berulang kali. Hingga dia
berkata... "Yok... aku ingin memberimu hadiah yang tak kan kamu
lupakan". Dia lalu duduk di atasku, tepat di atas kelelakianku.
Diambilnya kelelakianku terus dengan gerakan begitu lembut
dimasukkannya ke dalam kewanitaanya. Ugh... ah.. erangannya begitu
mempesona. Dan akupun memegang pantat bulatnya. Tapi segera dia
berkata" Ssst... I will make you happy Yok!". Terus dengan gerakan
memompa dan memutar, kurasakan seluruh darah mengalir ke bawah.
Keringat membasahai seluruh tubuhnya. Sambil berciuman kurasakan dia
memompa kewanitaaanya. Lalu dicengeramnaya tubuhku kuat-kuat. Aggh..
agh... seluruh ototnya meregang. Putingnya tegak berdiri dan
disorokannya ke mulutku. Lalu dengan keliaran yang tak kubayangkan
sebelumnya kulumat habis puting itu sambil membalas pompaannya. "Ah...
terus.. Yok.. terus... jangan berhenti" rangannya semakin mebuatku
liar. "Lagi... Yok.. lagi... ini ketiga kalinya... ayo Yok..." Dan
tanpa dapat kutahan lavaku menyembur. Neva segera menariknya keluar.
Lalu dijilatinya cairan lava itu. Kenapa dia tidak jijik? Dengan
senyum manisnya seakan dapat membaca pikiranku. "Nggak Yok... aku
ingin membuatmu senang". Ya Tuhan, aku sangat terharu mendengarnya.
Bagiku dia telah menjadi istriku. Malam itu, kami tiga kali bercinta
dan ketiganya Neva yang `memberiku'. Hm... aku berjanji, suatu saat
aku akan memberikan `sesuatu' yang sangat hebat...
"Mas... kopinya kan sudah dingin. Kok nggak diminum?" Ah...lagi-lagi
sapaan istriku membuyarkan lamunanku. Neva... dimana kamu sekarang
(istriku)?

Solo,12 Desember 2000

Sepotong cinta di hutan karet bag 2

"Pada sepi yang tiba
Keyakinanku yang rapuh
Kuusik sendiri:
Wajahmu tak tahu berjanji
Dalam sinar baur kabur
Dan bunyi seretan sandal
Kusumpahi engkau
Yang terus membuntutiku
Membuntukan seluruh
perjalananku..."

Hutan karet itu masih seperti dulu. Bau tanah basahnya, getah
karetnya, bahkan dangau tempat para pemanen karet beristirahatpun
masih ada di tepinya. Neni istriku tampak sesekali merapatkan
pegangannya di pinggangku. Langit sangat gelap, mendung menari dengan
seenaknya dan membawa udara dingin menerpa perjalanan kami menuju
rumah kepala desa tempatku dulu KKN dan motorku dengan usia rentanya
nampak terpatah-patah mendaki jalanan yang berbukit. Ah, semoga kami
belum terlambat menghadiri pemakaman kepala desa yang baik hati itu.
"Kenapa sih mas... motor butut ini nggak dijual saja. Beli motor Cina
juga nggak apa-apa." keluh istriku.
Dan seperti biasanya aku hanya terdiam tak tahu bagaimana cara
menerangkannya alasanku sesungguhnya.
"Ha.. ha.. Yok... ini sih sepeda onthel bukan motor" tawa lepas Neva
waktu motorku mogok di jalan dekat hutan karet itu saat itu.
"Biarin, kenapa kamu mau aku goncengin?" Aku pura-pura marah.
Mendengar nada suaraku yang kelihatan kesal. Mata Neva yang bulat
segera membelalak dengan lucunya.
"Ah.. kamu nggak asyik. Gitu aja marah" Dia gantian memberengut dan
mulutnya terkatup rapat. Garis mukanya mengeras, dahinya mengrenyit.
Lho? Aduh gimana nih? Sumpah, aku tidak bermaksud membuatnya
tersinggung. Aku kelabakan
"Ngg... anu. Nev... aku... aku... maaf... tadi... ngg" Aku tidak bisa
meneruskannya karena tak tahu harus bagaimana. Sungguh mengapa aku
begitu takut membuatnya marah, takut dia tak mau lagi bersamaku. Saat
aku bergulat dengan kekawatiranku, tiba-tiba sebuah ciuman mendarat di
pipiku
"Mmuah!" Neva menciumku sambil terkekeh-kekeh geli karena berhasil
mengecohku. Antara lega, kaget, senang dan malu. Terlebih beberapa
penadah karet yang berpapasan dengan kami nampak jengah dan malu
melihat kespontanannya yang tak bosan-bosannya memukauku.

"Nev.. sst.. ntar dilihat orang"
"Ha.. ha... biarin! ha.. ha... gotcha! Takut aku marah ya? He.. he..."
Dia masih ketawa geli. Begitu menggemaskan, ingin rasanya kupeluk
erat-erat. Segera kuusap-usap rambutnya yang mulai memanjang dan awut-
awutan itu dengan penuh kasih.
"Sayang ya?" tanyanya manja (baru kusadar, dia tidak penah menampakkan
kemanjaan ini kepada siapapun selama kami KKN. Beginikah dia sama Don?
Persetan! Segera kuusir perasaan buruk ini). Kupandang dalam ke mata
lucunya. Aku tahu pasti, dia bisa membaca apa yang terukir indah di
dalam hatiku.
Hujan tumpah tanpa terbendungkan lagi. Angin menjadi semakin kencang
seolah mengejek motorku yang semakin terseok.
"Nen.. kita berteduh di dangau itu saja" segera kupinggirkan motorku
ke dangau di tepi hutan itu. Daun kelapa kering yang menjadi atapnya
nampak koyak di beberapa bagian. Tapi masih lumayanlah di pojok
sebelah kanan masih ada tempat yang kering.
Sebelum kami duduk di bangku bambu yang sudah tampak lusuh dan banyak
sisa pohon kering, kubersihkan bangku itu dengan tanganku, dan dengan
ketergesaanku itu mengakibatkan sebuah paku kecil yang menyembul
menyayat jari telunjukku. Darah segar segera mengalir.
"Oouch!"
"Yok... aduh... tanganmu berdarah" Neva berteriak dengan kecemasan
yang tak dapat disembunyikannya. Segera diambilnya jari telunjukku dan
dikulumnya di bibirnya yang tak tersentuh lipstik. Pemandangan di
depanku membuatku tak mampu berkata sepatah katapun. Begitu indah,
begitu ingin kubekukan dan kubingkai selamanya. Rambut dan mukanya
yang basah karena guyuran hujan membuat bibirnya sedikit kebiruan.
Celana jeans dengan dengkul sobek plus kaos putihnya basah kuyup dan
membuat lekukan di dadanya menjadi sangat jelas. Warna hitam dari
branya memberi aksen pada lukisan indah dihadapanku ini. Dengan
perlahan dan lembut dikulum dan disedotnya darah dari jariku.
Kurasakan di ujung jariku kelembutan lidahnya menyentuh lukaku. Perih
yang tadinya begitu kuat menggigit ujung jariku secara perlahan
berganti menjadi kehangatan yang menjalari seluruh ujung kepekaanku.
Masih kurasakan kebahagiaan yang kuperoleh beberapa hari yang lalu di
rumahku saat kami menginap. Aku rindu sentuhannya, aku rindu....
"Nah... sudah mendingankan?" jariku yang dicabut dari mulutnya
membuyarkan kenanganku. Ada sedikit rasa kecewa di perasaanku. Tapi
rasa maluku mampu menekannya dalam-dalam. Entah, sejak kejadian di
rumahku itu, aku merasakan kedekatan yang luar biasa di antar kami.
Nevapun semakin jarang membicarakan Don, meski dihadapan teman-temanku
seregu dia nampak dengan sengaja melontarkan kerinduannya pada
kekasihnya itu dengan ujung mata yang sesekali mencuri pandang ke
diriku. Kekasihnya? Siapa? Don? Aku? Aku takut dengan jawaban
pertanyaan itu dan aku tidak pernah mempertanyakannya. Aku hanya
yakin, Neva juga melakukannya dengan hatinya.
"Hey.. jangan melamun dong, Mas!" sapaan istriku lembut tapi kurasakan
ada kejengkelan di dalamnya.
"Nggak... cuma hujan kayak gini pasti lama... kita terjebak di sini
nih!" sambil kupeluk istriku.
Ada rasa syukur yang besar saat hujan turun dengan derasnya diiringi
angin besar. Neva merapatkan duduknya sambil tak bisa menyembunyikan
gigilan dingin yang menerpanya. Sepenuh hati segera kupeluk karunia
indah ini dan kuberikan seluruh kehangatan jiwaku padanya. Kurasakan
balasan pelukannya begitu lembut tapi tegas. Dengan rasa sayang yang
luar biasa kucium rambut basahnya. Nampak dia terpejam menikmati rasa
sayangku itu. Tanpa sadar kuteruskan ciumanku di telinganya, dia
mengelinjang kegelian, kutelusuri belakang telinganya dengan ujung
lidahku, kemudian lehernya. Dia lalu menengok dan dengan hangat
diciumnya bibirku. Lidah-lidahnya bermain di rongga mulutku dan tangan
kanannya mengambil tangan kiriku untuk diletakkan di atas dadanya.
Hujan yang semakin deras melarutkan percumbuan kami. Ditariknya
mulutnya dari mulutku "Yok... tapi nggak usah main ya?". Dengan kelu
kuanggukkan kepala. Neva kemudian pindah ke depanku menghadap ke
arahku, bra hitam basahnya yang nampak samar di kaos basahnya tepat di
hadapanku. Disorongkannya dadanya ke mulutku, segera kulumat kaos
basah itu sambil mulutku sesekali menggigit lembut ke dua bukit
indahnya. Sambil memekik kecil karena gigitan itu ditariknya kasonya
ke atas, nampak bra hitamnya memiliki bukaan di depan. Dibukanya
bukaan itu. Ya ampun, kedua bukit itu tegak berdiri dengan puncak
hitamnya yang mengeras (entah karena kedinginan atau keinginan).
Kulahap habis kedua puncak hitam itu bergantian. Kugigit-gigit lembut
dan Nevapun mengelinjang kegelian. Kuremas-remas pantatnya yang
tergolong besar itu sehingga dia dengan gerakan yang begitu ekspresif
semakin menyorongkan dadanya ke mulutku. Kedua bukit itu makin keras.
Tiba-tiba dengan gerakan yang agak kasar ditariknya kedua dadanya dari
mulutku. Neva segera berjongkok, dibukanya risleting celana jeansku
dan dikeluarkannya kelelakianku, segera dilumatnya kelelakianku dengan
gerakan yang menagihkan. Digigit-gigit kecilnya ujung kelelakianku,
ditelusurinya batang tubuhnya dengan ujung lidahnya hingga ke pangkal.
Gelinjang sensasi kenikmatan yang kurasakan membuatnya mempercepat
gerakan makan es krimnya. "Ugh... ah...... akhhhhhhhh... Nev..
ahhhhhhh" tak mampu aku berkata apa-apa. Lavaku sudah mendekati puncak
dan Neva akan menekan pangkal batang kelelakianku bagian bawah, tiba-
tiba...
Grung... grung... suara mobil membuat kami bagaikan kesetanan segera
membenahi baju kami. Dengan napas tersengal, kami segera duduk sambil
ngobrol yang tak jelas.
"Mbak.. Mas... bareng aja yuk?" pak lurah yang baik hati itu
menghentikan mobil kijang bak terbukanya. Dengan senyum sedikit kecut
kami terpaksa numpang mobil itu dengan motor tuaku nangkring di bak
belakang.
"Nev.. aku pusing!" bisikku. Neva hanya mengangguk sambil jarinya
meremas jemariku.
"Yah... memang hujan seperti ini membuat kita gampang masuk angin,
pusing. Nanti sampai di rumah biar ibunya anak-anak bapak suruh
ngerokin nak Iyok." Pak lurah yang baik hati itu dengan polosnya
menyahut. Aku dan Nevapun berpandangan dengan senyum antara geli dan
kecut.

"Kematian adalah tantangan,
kematian mempertegas kita untuk tida melupakan waktu,
kematian memberi tahu kita untuk saling mengatakan saat ini juga
bahwa.... kita saling mencintai..."

Rumah pondokan KKNku juga masih seperti dulu. Dinding batakonya, kedua
kamarnya (satu untuk Neva dan Santi, sedangkan yang lainnya untuk
Hendra, Made, Sugeng dan aku. Ah... teman-teman sereguku itu juga tak
kuketahui rimbanya kini...) kini ditempati keponakan pak lurah yang
baik hati itu. Rumah pak lurah hanya beberapa ratus meter dari rumah
itu. Bu lurah dengan mata yang masih sembab menyambut kedatanganku
dengan keharuan yang mendalam. Kukenalkan Neni, kemudian kusalami dia.
Masih kurasakan kehangatan perhatiannya saat mengerokiku dulu
ditangannya
"Makanya mas Iyok... mbok motornya diganti saja. Kalo gini kan kasihan
mbak Neva nggak bisa nonton ke Salatiga sama mbak Santi dan yang lain.
Mereka tadi nunggunya lama lo... mas Made yang ngusulin ninggal. Marah
lo dia" sambil sesekali dipijitnya tengkukku. Sambil tersenyum menahan
kerokan yang tak kuinginkan ini aku hanya diam saja. Kalau kutanggapi
bisa-bisa sampai subuh bu lurah yang masih menyisakan kecantikan masa
mudanya ini tak bisa menghentikan obrolannya. Padahal aku begitu ingin
segera kembali ke pondokanku menyusul Neva yang tapi pura-pura pamit
menyelesaikan persiapan mengajarnya di SMP desa. Akhirnya siksaan
kerokan itu berlalu, sambil pura-pura mengantuk karena Procold aku
bergegas ke pondokanku.
"Nen.. ini kamarku dulu, dan yang itu kamar Santi dan Neva" waktu
kusebut namanya ada kelu yang mnyekat di kerongkonganku. Untunglah
keponakan pak lurah segera menyuruh kami minum teh hangat.
"Nev... mau teh hangat?" kuambilkan secangkir teh dari rumah pak
lurah, jangan-jangan Neva sakit beneran? Ada rasa cemas yang menyusup
saat aku masuk kamarnya dan kulihat dia meringkuk tak bergerak.
"Mau dong" sambil mengeliat bangun dari tidur ayamnya. Syukurlah, dia
tak apa-apa. Sesaat setelah menghabiskan teh dia menengadah...
"Yok?" bisiknya
"Ya?"
"Selesain yuk?". Ah.. betapa inginnya aku agar Neni bisa mengutarakan
keinginannya seperti dia.
Segera kukunci pintu depan. Dan dengan setengah berlari aku kembali ke
kamar Neva. Begitu kubuka kamar, Neva ternyata telah menanggalkan
seluruh celana pendek dan kaosnya. Hanya tinggal bra hitam dan celana
hitamnya (aku tak tahu kenapa dia begitu tergila-gila warna hitam,
hampir seluruh pakaian dalamnya hitam). Dengan reflek kubuka bajuku
segera kutubruk dia. Neva sedikit meronta dan itu membuatku semakin
bergairah. Tak tahu, rasanya kami terburu-buru, mungkin karena rasa
takut ketahuan. Neva segera menanggalkan pakaian dalamnya dan segera
memintaku untuk memasukkan kelelakianku di lubang kewanitaannya.
Entah, aku justru menunduk dan kuciumi dengan lembut. Bau kewanitaan
itu begitu khas, aku belum pernah membauinya. Dengan reflek kujilati
pinggirannya dan benda kecil yang tampak memerah tegang ditengahnya.
Neva mengelinjang dengan hebat tangannya sedikit menjambak rambutku
dan membenamkan kepalaku semakin dalam ke lubang itu. Aku begitu
menikmati permainan ini. Sumpah aku belum pernah melihat gambar atau
film seperti ini. Semuanya kulakukan dengan reflek naluriku belaka.
Lidah-lidahku semakin liar menari-nari di lubang itu dan kumasukkan
semakin dalam dan dalam. Kedua tanganku ke atas memegang bukit
indahnya yang semakin keras dan mengeras. Kupelintir kedua puncak
hitamnya, kumainkan sampai kurasakan air semakin deras di
kewanitaannya. Kujilati air itu, kuhisap, kutumpahi ludahku bercampur
dengan air itu. Kuhisap lagi. Kedua puncak hitam bukit indahnya
semakin keras kupelintir, kugemggam dengan liar kedua bukit itu,
kuremas-remas, kuperas dan...
"aaaaaaaaahhhhh... oh yes... yes. uh...... ahhhh.." panggul Neva
dengan sangat liarnya melakukan gerakan memompa. "Oooohhhhh...
Yesss!!!!" dibenamkannya semakin dalam kepalaku ke dalamnya. Ya..
Tuhan.. begitu bahagianya diriku melihatnya begitu puas. Segera
kucabut lidahku dan dengan ujung lidahku kujilati seluruh tubuhnya.
Neva semakin menggelinjang, kulumat habis kedua bukit indahnya dengan
puncak yag begitu keras. Ah... aku tak kuasa menahannya lebih lama
dan...
Blesss!!! Kumasukkan kelelakianku ke dalam kewanitaannya. Dipegangnya
kedua pantatku dan ditariknya ke dalam lubang itu semakin dalam.
Sambil kulumati kedua bukit indahnya, kelelakianku terus mempa dengan
rasa cintaku yang luar biasa.
"Yok... ayo... yok... ah... terus... terus.. oh yesssss!" saat itu
kusemburkan lava kelelakianku di atas tubuhnya. Segera dioles-
oleskannya ke seluruh tubuhnya. Ah betapa cantik dan seksinya dia...
Saat Santi dan teman-temanku pulang, Neva sudah tertidur kelelahan.
Dan aku pura-pura nonton TV di rumah pak lurah. Waktu teman-temanku
menceritakan betapa hebatnya film yg ditonton. Aku hanya pura-pura
kesal dengan kebahagiaan yang tak terkira.
"Mas.. pulang yok.. udah sore nih..."
Angin senja membawaku kembali ke Solo sambil masih terngiang dengan
jelas bisikan Neva sesudah mengakhiri permainan kami.

"aku ini badai dan samudera,
hutan tergelap dan pegunungan terjal dan liar.....
betapa inginnya kualamatkan selalu kerinduanku
pada tempat ini"

Solo, 14 Desember 2000

Sepotong cinta di hutan karet bag 3 (selesai)

Telah sebulan KKN selesai. Dan selama itu pula aku tidak bertemu
dengan Neva. Rindu ini begitu mencabik-cabik pembuluh darah dalam
nadiku dan mengakumulasi ke kelenjar otak. Bambang dan Panca, teman-
teman sekontrakanku sampai heran dengan diriku yang tiba-tiba menjadi
pemarah dan sensitif. Akhirnya aku ceritakan bahwa aku jatuh cinta
dengan perempuan itu. Saat kutunjukkan fotonya, Panca begitu terkejut
ternyata Neva teman basketnya di tim universitas. "Wah... kamu pinter
milih, Yok! Kalo dia aku ya mau juga," jawabnya terkekeh
Aku tahu saat ini pasti Neva sedang ngebut nyelesain skripsinya. Dia
pernah bilang dia harus selesai dalam hitungan 2 bulan. Benar-benar
gila anak itu otaknya. Aku jadi malu ke diriku sendiri. Dibandingkan
dia aku belum melakukan apa-apa dalam hidupku untuk diriku sendiri.
Panca jadi heran dengan perubahanku yang begitu tiba-tiba. Aku jadi
lebih sering mengerjakan proposal skirpsiku yang telah sekian lama
terbengkelai. Jadi sering ke perpustakaan pusat (hm... siapa tahu Neva
ke sana). Sudah beberapa kali aku coba ke rumahnya yang sangat besar
di utara Yogya itu. Tapi mobil Don yang sering nongkrong di depan
rumah itu membuatku kecul sendiri. Kamu memang pengecut Yok! Entahlah.
Sampai suatu hari aku pergi ke perpustakaan dan wanita yang duduk
tekun di pojok membuat wajahku pias. Neva? Dia duduk sambil memelototi
buku the Trial-nya Frans Kafka (Pasti buat referensi skripsinya.)
Kacamata bacanya membuat wajahnya menjadi begitu menarik. Sosok
kecerdasan yang luarbiasa digabung dengan keperempuanan yang
menyihirkan.
Kudekati dia dan kusapa.
"Hei!"
"Hey!" jawabnya datar.
"Sedang apa?
"Berenang!" jawabnya seenaknya. Seharusnya aku tahu, aku tak bisa
mengganggunya kalau sudah ada buku di tangannya. Biar ada bom
meledakpun dia tak akan bergeming. Aku hanya terdiam memandangnya
sambil berharap dia akan memandangku, tapi harapanku itu sia-sia. Dia
tak bergeming sedikitpun. Sampai sebuah sosok laki-laki mendekat ke
arah kami, Don!
"Hey.. Yok? sudah lama?" sapanya hangat Aku hanya mengangguk dengan
senyum yang pasti begitu aneh. Neva segera bangkit. "Yuk Don pulang...
pulang dulu ya Yok!" tanpa menunggu jawabanku dia mengeloyor pergi
begitu saja. Aku hanya terbengong dan kelu.

Kriiing! Weker ayamku membangunkan tidur siangku. Dengan
kecepatan kilat yang luar biasa aku mandi dan segera bergegas
mengambil ranselku, Sialan, kenapa sih pak Sutoyo dosen pembimbingku
bikin janji jam 4 sore gini. Saat membereskan laporan-laporanku si
Bambang menggedor pintu kamarku. "Yok... aku berangkat dulu, pulangnya
mungkin bulan depan," pamitnya. Ya ampun baru aku ingat sore ini dia
mau ke Sulawesi mau melamar tunangannya.
" Ya... hati-hati... salam buat Tasya!".
Tak berapa lama kemudian pintuku mulai digedor lagi. Kenapa lagi sih ?
"Ngapain Mbang? Ada yang ketinggalan?"
"Ngg... anu Yok ada tamu!"
Kenapa sih anak itu, ada tamu kok mbingungi. Segera kubuka pintu
kamarku. Seolah-olah ada sebongkah besar batu menyekat tenggorokanku
dan aku hampir tak bisa dibuat bernapas karenanya. Neva! Perempuan itu
berdiri dengan kostum seperti biasanya, kaos dan jeans belel. Tapi di
pundaknya ada ransel yang lumayan besar. Mau ke Merapikah?
"hey... boleh nginap di sini?" tanyanya cuek dan tanpa menunggu
jawabanku dia langsung masuk kamar. Ah anak itu memang penuh dengan
kejutan. Seperti orang linglung aku bahkan tak sempat mengenalkan
Bambang yang terburu-buru pergi.
"Mama nyusul Papa ke New York. Don pergi ke Kalimantan. Ada riset di
Kalcoal. Males di rumah. Sepi!" seolah-olah tahu keherananku dia
merebahkan tubuhnya ke kasur yang tergeletak begitu saja di lantai.
Anak tunggal pasangan dokter bedah ternama di kota ini memang paling
takut sendiri di rumahnya yang super besar itu.
"Sampai kapan?" tanyaku sekenanya.
"Tahu! Mungkin sebulan. Kalo mama dan papa sih lima minggu. Soalnya
mereka mau ke Eropa sekalian. Nengokin om Jon, adik mama di Paris.
Kamu kalo mau pergi, pergi aja aku ngantuk!" dia lalu membalikkan
tubuhnya . Kalau tidak ingat dosenku itu sangat susah ditemui, pasti
kubatalkan kepergianku.

Sepanjang pertemuanku dengan pak Sutoyo, tidak sedetikpun
konsentrasiku ke proposal yang aku bikin. Sialnya dosenku itu justru
malah kuliah panjang lebar tentang teoriku yang salah. Saat sesi itu
selesai, baru kusadar telah tiga jam aku meninggalkan Neva di rumah
kontrakkanku. Bagaikan kesetanan aku memacu motor tuaku ke rumah
kontrakkanku di daerah Mbesi sambil tak lupa menyempatkan di warung
langggananku untuk 2 botol besar Coke dan seplastik es batu (minuman
kesukaan Neva). Hm.. mengapa rumahku gelap? Pasti si Neva ketiduran.
Kubuka gerendel, aku terkejut beberapa lilin menerangi kamar tamuku.
Mati listrikkah? Sayup-sayup kudengar kaset Michael Frank dari
kamarku. Lalu dengan pelan takut menganggu tidur perempuan itu kubuka
kamarku. Dan pemandangan di kamarku membuat kedua mataku hampir keluar
dari tempatnya karena ketakjubanku. Beberapa lilin yang mengapung di
tembikar yang penuh dengan kemboja nampak menghiasi beberapa sudut
ruangan. Spreiku telah diganti menjadi biru tua polos dan bertaburan
melati dan bau dupa eksotis membuat kamarku demikian cozy. Beginikah
honeymoon suite room? Neva dengan rok terusan selutut bertali dan
sersiluet A tersenyum menyambutku. Kain rok itu begitu tipis dan
ringan, warna putihnya mengingatkan aku pada turis-turis yang sering
memakainya di Malioboro. Tampak kedua dadanya penuh dan kedua puncak
hitamnya yang menonjol menyadarkanku bahwa dia tidak memakai bra hitam
kesukaannya. Setangkai kamboja menyelip di telinganya. Ah... pantas
bule-bule itu menyukai perempuan negeri ini. Ada satu karakter yang
kuat memancar dengan dahsyatnya. Saat lagu "Lady wants to Know"
mengalun, Neva memegang tanganku.
"Shall we dance?". Kuletakkan semua bawaanku begitu saja dan dengan
ketakjuban yang masih menyelimuti perasaanku kusambut tangannya,
kupeluk dia dengan kerinduan yang tak kunjung usai. Harum parfum
Opiumnya Yves Saint Laurent semakin meempererat pelukanku. Sesekali
kucium tangannya yang kugemnggam sangat erat. Kamipun terus berpelukan
hingga satu lagu itu usai. Saat lagu kedua mulai, tiba-tiba perempuan
itu mendongakkan kepalanya yang tadinya rebah di dadaku.
"Bercintalah denganku?
Setubuhi aku dengan jiwamu...
Bawalah aku ke dalam darahmu
Biarlah aku terus menjadi hantu yang selalu menghuni satu sudut ruang
hatimu..." bisiknya lembut.
Kata-kata itu bagaikan sihir yang membutakan seluruh sendi
kesadaranku. Tanganku turun dan dengan perlahan kusentuh dengan lembut
kedua dadanya. Bibirnya yang penuh kukecup dengan penuh kasih lalu
segera kulumat dan kuteruskan dengan penjelajahan ke lehernya dengan
kecupan-kecupan hangat. Gigitan-gigitan kecil di dadanya terkadang
membuatnya tersengat. Kain di dadanya segera basah oleh ciumanku dan
kedua puncak hitamnya tegak berdiri di balik samar warna putih. Dengan
kepasrahan yang penuh, perempuan itu kugendong ke ranjangku. Kubuka
dengan perlahan bajuku dan dalam hitunga detik kami telah ada dalam
kepolosan yang purba."Please... explore me!" rintihnya saat kujilati
bibir kewanitaannya. Entah mengapa aku begitu kreatif saat itu. Segera
kuambil ikat pinggangku dan kuikat kedua tangannya kebelekang lalu dia
kududukkan sambil kututup mataku dengan syal batik ibuku yang selalu
kubawa. Oh Tuhan (masih pantaskah aku menyebutNya?) betapa
menggairahkan pemandangan di dekapanku. Kuambil bongkahan es batu
dalam plastik dan kubanting ke lantai.
Gedubraaaak!
"Suara apa itu?" pekiknya kaget. Pertanyaan itu tidak kujawab dengan
jawaban tetapi dengan ciuman liar dan hangat di bibirnya. Tanganku
memegang sebongkah es batu dan kutelusuri seluruh tubuhnya dengan es
itu dengan gerakan bagai lidah di tempat-tempat sensitifnya."Arrgh..
ah... ugh.. ugh!" dia menggelinjang dengan hebatnya karena sensasi
itu. Saat kupermainkan bongkahan es di puncak hitamnya yang sangat
kaku mengeras dia mengaduh "Uuuh... hisap... please!" rintihnya. Lalu
kuhisap ke dua puncak itu sambil kugigit-gigit kecil. Gelinjangnya
semakin liar. Lalu es itu kujelajahkan di atas kewanitaannya. Tanpa
dapat dibendung lagi dia mengerang hebat dengan erangan yang tak
pernah kudengar (ah mungkin waktu itu tempatnya tidak sebebas di
kontrakkanku). "Arrgh.. uh.. oh... yessss... oh... ah.. great...
baby..." saat es yg semakin kecil itu kumasukkan ke dalam
kewanitaannya dan kumainkan bagai lidahku dia mengerang dan memohon
untuk kusetubuhi dengan kelelelakianku.
"Please Yok... setubuhi aku.. ayo.... ah...." tapi aku tidak
melakukannya, justru aku segera melumat kewanitaannya dengan lidahku.
Karena kedua tangannya masih terikat dia tidak bisa memegang kepalaku
untuk dibenamkannya ke kewanitaannya dan dia menggunakan kedua kakinya
untuk menjepit tubuhku. Erangannya makin hebat saat kuhisap cairan di
kewanitaannya, kujulurkan lidahku makin dalam... dan dalam...
"Aaaaaaaaargh!... argh....oh yesssssssssssssssss!" Kuhisap, kulumat
dengan keliaran yang tak terkendali. Persetan dengan yang mendengar
saat kudengar bunyi pintu terbuka. Itu pasti Panca. Benar, mungkin
karena sungkan, dia segera masuk ke kamarnya. Erangan perempuan itu,
semakin keras saat kutanamkan dalam-dalam kelelakianku ke lubang
kewanitaannya.
"Oh yesssssssss!... arghhhhhh!" dia tak bisa bebas meronta, hanya
panggulnya yang diangkatnya tinggi-tinggi untuk dibenamkan semakin
dalam. Saat kubuka matanya dan talinya dia segera mendorongku hingga
aku terjembab dan dicabutnya kewanitannya. Dia lalu jongkok di atas
wajahku dengan posisi terbalik. Lalu dengan liar dihisapnya
kelelakianku. Dikulumnya dalam-dalam, di saat yang bersamaan akupun
bisa memainkan lidahku di kewanitannya.
"Ahh.. uh... ah..." begitu nikmat luar biasa, Kulumannya semakin liar
di kelelakianku sambil sesekali digigit kecil pangkalnya. Kedua bukit
indahnya yang menggantung segera kuremas dan kupilin keras.
"Auw...." Jerit kecilnya saat aku memilin putiknya terlalu keras. Neva
semakin hebat mengulum kelelakianku sambil menggoyangkan kewanitaannya
agar lidahku bisa masuk lebih dalam. Lalu dengan waktu yang bersamaan
kami mencapai sensasi erangan yang memekakkan.
"Aaargh... oh YESSSSSSSSS!" lava yang begitu deras keluar dari
kelelakianku, segera direguknya cairan itu. Oh indah luar biasa...
Tuhan.. aku begitu mencintainya. Dan malam itu kami terus bercinta
hingga pagi menjelang.

Sudah hampir 2 minggu ini Neva tinggal bersamaku. Selama itu pula
erangan-erangan dan lenguhan-lenguhan kami telah menjadi seuatu yang
biasa di kontrakkanku. Setiap hari kami bercinta, terkadang pagi,
siang dan setiap malam. Hampir seluruh sudut rumah ini telah sempat
menjadi 'ranjang' kami (tentunya saat Panca pergi). Panca sudah
terbiasa mendengar teriakan-teriakan kepuasan dari kamarku, bahkan
kami terkadang berciuman dengan seenaknya di depannya. Pancapun hanya
menggerutu, "Huh... jadi kambing congek nih..." Lalu kamipun hanya
tertawa melihat ekspresi sahabatku itu. Lalu dengan sekali pandang
kami segera masuk kamar. Biasanya Neva masih sempat menggoda Panca
dengan kenakalannya.
"Hey... jangan pengin lho Pan?"
"Huh cah edan!" sahabatku itu begitu pengertian sambil tetap bersungut
dia masuk kamar sambil meneruskan gerutuannya:
"Tereaknya jangan kenceng-kenceng!" lalu erangan-erangan hasratpun
kembali menguak di antara keringat-keringat kami. Hari-haripun berlalu
demikian indahnya. Hingga suatu siang, saat aku pulang dari kampus aku
begitu terkejut saat melihatnya berkemas.
"mau ke mana Nev...?"
"Pulang," Jawabnya pendek.
"Mama Papa udah balik?" dia hanya menggeleng.
"Besok Don pulang!"
Pyaaaar! Tiba-tiba kepalaku pening. Ada kemarahan yang tiba-tiba
meyerang. Tidak, aku tidak marah kepadanya, aku hanya marah dengan
situasi ini.
"Tinggallah bersamaku," pintaku. Kurasakan ada nada putus asa di
dalamnya. Perempuan itu menggelengkan kepala.
"Tidak. Don akan marah kalau ke rumah aku nggak ada". Don, lagi-lagi
Don!
Kenapa nama itu tidak hilang dari hatinya. Tidak puaskah dia dengan
cintaku? Keputusasaanku akhirnya terakumulasi dengan kemarahanku.
Kutarik tubuhnya ke pelukanku, kudekap tubuhnya kuat-kuat. Diapun
mengejang dengan pandangan bingung. Tiba-tiba kudengar suaraku
meninggi.
"Tidak! Kau harus tinggal!" melihat perempuan itu tetap menggeleng aku
semakin tak terkendali. Yang ada di kepalaku cuma satu, dia harus jadi
milikku, selamanya! Dan keluarlah kalimatku yang kusesali hingga saat
ini:
"Jadi, kuanggap aku gigolomu. Harusnya kamu bayar aku mahal, Nev!"
Plaak! Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Kulihat kemarahan luar
biasa di matanya. Badannya bergetar dengan hebat. Aku semakin kalap
segera kugumul dan kutindih dia dengan tubuhku. Dia meronta dan akupun
semakin marah. Segera kubuka celanaku dan kupelorotkan celana
pendeknya sekaligus celana dalamnya. Lalu dengan kasar kusetubuhi
perempuan kecintaanku itu dengan ganas. Neva berteriak kesakitan
karena secara alami tubuhnya menolak. Tapi aku tidak peduli dan dengan
sengaja kumasukkan dalam-dalam lava kelelakianku (selama ini aku tidak
pernah memasukkan ke dalam kecuali dengan karet pengaman). Aku ingin
dia hamil. Hanya itu satu-satunya cara untuk memilikinya.
"Oh..jangan..." Teriakannya semakin membulatkan niatku. Setelah
semuanya selesai, baru kusadari ada buliran air mengalir dengan deras
dari kedua mata indahnya. Ya... Tuhan Apa yang telah kuperbuat
terhadap perempuan yang sangat kucintai dalam hidupku ini? Tanpa
berkata sepatahpun dia segera meberei tubuhnya dan sambil membawa
bawaannya dia pergi tanpa menoleh sedikitpun kepadaku. Siang itu di
tengah guyuran hujan yang turun dengan tiba-tiba, menjadi saat
terakhir aku melihatnya. Aku begitu sakit ....
Aku berusaha puluhan kali menemuinya ke rumahnya, tapi hanya
pembantunya yang keluar dan bilang nonanya pergi atau seribu alasan
lainnya. Nev... aku hanya minta maaf. Di hari wisudanyapun ternyata
dia tidak datang. Aku semakin tenggelam dalam rasa bersalahku. Hingga
suatu siang ada suara mengetuk. Nevakah? Begitu kubuka ternyata Don.
Belum sempat aku bertanya sebuah pukulan mendarat di mukaku. Don hanya
berkata lirih sambil melemparkan sepucuk surat, "Goblok! Kamu hampir
memilikinya, tapi kamu sendiri yang merusaknya".
Sambil menahan perih kubaca surat itu. Surat Neva!

"Don-ku sayang...
Maafkan aku. Saat kau baca surat ini aku sudah di Paris, kebetulan om
Jon nawarin aku tinggal di sana. Jadi sekalian aku ambil sekolah film
sekalian. Maafkan aku tak sempat bilang padamu tentang keputusanku
ini. Don, tadinya kamu adalah satu-satunya lelaki yang ingin kuberikan
seluruh hidupku. Aku menjadi sangat terluka saat kamu tidak
menginginkan anak dariku. Meski kamu akhirnya mau menikah denganku....
Tetapi ternyata semuanya menjadi lain saat aku bertemu Iyok (Ah
alangkah senangnya jika ada satu sosok gabungan antar dirimu dan
Iyok). Aku juga menginginkan hidup bersamanya. Dan itu tidak adil
bukan? Aku merasa mengkhianatimu saat bersamanya dan mengkhianatinya
saat bersamamu. Saat kamu pergi ke Kalimantan aku pikir itu saat yang
tepat untuk menguji perasaanku kepadamu dan kepadanya. Hidup
bersamanya begitu rileks aku sungguh menikmatinya. Hampir saja
kuputuskan untuk hidup bersamanya. Tapi ternyata rasa cintanya begitu
'menyesak'kan ruangku. Akupun tidak bisa hidup dengan cara itu.
Don, aku harap kamu mengerti dengan pilihanku ini. Aku mencintaimu
selamanya aku mencintaimu. Jika kamu sempat bertemu Iyok, tolong
katakan bahwa aku hanya menyesal dia tidak bisa merasakan perasaanku
kepadanya... just take care of yourself. Neva."

Aku hanya termangu. Karena itu setiap tahun aku pasti menyempatkan
pergi ke hutan karet itu dengan seribu satu alasan ke istriku....

Solo, 18 Desember 2000


Catatan: Lima tahun yang lalu, Panca pernah melihatnya di bandara
Changi. Neva bersama seorang anak perempuan usianya sekitar lima
tahunan. Mereka sendirian sambil menunggu pesawat ke Paris. Aku begitu
gemetar mendengarnya. Aku tidak berani memikirkan segala
kemungkinan...

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites